Maraknya mural kritik sosial di jalanan kota-kota besar Indonesia hangat dibicarakan. Mulai dari tafsiran sosok di dalam mural, tulisan yang menyentil sampai isu mengenai kelaparan di tengah pandemi.
Apakah penghapusan mural-mural itu sebagai bentuk represi baru? Para seniman visual yang biasa menggambar di tembok jalanan turut bersuara mengenai hal tersebut.
"Represi banget ini mah. Mau dikata diajak ngobrol doang juga, masa iya dikesankan seperti buronan? Kita paham ada UU tentang simbol negara, paham kok konsekuensi, dan risikonya," ungkap pegiat grafiti dan street art, BC110 ketika diwawancarai detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan jika berbicara mengenai gambar atau karya seni ada banyak perspektif. "Balik lagi, responsnya kok tumben ya," katanya sembari tertawa.
Seniman yang tergabung dalam Ladies on the Wall, Bunga Fatia, pun mengatakan kalau alasan penghapusan karena gambarnya tidak mendapatkan izin tembok, hal itu wajar karena termasuk ilegal.
"Tapi kalau alasan penghapusannya karena ada pihak yang tidak suka karena merasa dikritik, menurut saya nggak benar. Karena itu hak masyarakat untuk membuat aspirasi," katanya kepada detikcom.
![]() |
Aktivitas mural maupun street art, lanjut dia, memang biasa berada di tembok yang tak berizin maupun lokasi terbengkalai.
Meski begitu, segala kegiatan apa pun termasuk seni bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan atau kritik sosial kepada pemerintah. Bunga menyebutkan hal tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
"Ini sudah menjadi bentuk represi baru untuk mengikis kebebasan masyarakat berpendapat," tambahnya.
![]() |
Sebelumnya, Staf Khusus Mensesneg, Faldo Maldini menilai sejatinya mural berbentuk kritik boleh saja. Tetapi, jika tak ada izin, bisa dianggap melawan hukum.
"Mural, entah apa pun isinya, yang gambarnya memuji tokoh politik tertentu, yang mengkritisi pemerintah, yang memuji pemerintah, kalau tidak ada izinnya, bisa berujung pada tindakan melawan hukum, cederai hak orang lain. Ada di KUHP, silakan dicek," kata Faldo saat dimintai konfirmasi, Sabtu (14/8/2021).
Faldo mengatakan, jika mural tidak perlu izin, siapa pun bisa semaunya mencoret tembok orang lain. Sementara itu, perbaikan fasilitas publik tersebut menggunakan anggaran negara.
"Kalau mural tidak perlu izin, nanti dinding rumah kita bisa dicat orang dengan gambar Messi, padahal kita fans Ronaldo. Ini kan sewenang-wenang. Apalagi itu fasilitas publik yang dihajar. Memperbaikinya pakai uang rakyat. Kalau mau kritik, ruangnya terbuka, kami juga selalu upayakan buka ruang diskusi. Teman-teman media juga setiap hari sampaikan kritik dan keresahan publik," ujarnya.
Mural yang menyinggung pemerintah tak hanya bergambar mirip sosok Jokowi dan matanya bertuliskan '404 File Not Found' saja, tapi juga ada di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Mural tersebut bergambar dua karakter dan bertulisan 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit'. Mural itu juga telah dihapus dan pembuatnya diburu.
(tia/nu2)