Saku Ibu

Cerita Pendek

Saku Ibu

Marliana Kuswanti - detikHot
Minggu, 11 Jul 2021 10:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Yang membedakanmu dari anak-anak lain hanyalah kau lahir dari saku ibumu."

"Saku Ibu?"

Nenek Rambut Putih mengangguk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saku celana, rok, atau baju? Samping atau belakang?"

"Baju, bawah sebelah kiri. Ibumu sedang mencari saputangan. Merogoh yang kanan tak ada lalu ganti yang kiri dan menemukanmu. Kau kecil dan bergelung, persis seperti udang. Ibumu menaruhmu di telapak tangannya lalu meniup-niupmu sepelan mungkin sampai kau mekar layaknya bunga."

ADVERTISEMENT

***

Nel tidak akan pernah melupakan cerita asal-usulnya itu. Cerita yang mengisi mimpi tidur malamnya dalam begitu banyak tahun. Nenek Rambut Putih telah memberitahukannya sebuah rahasia. Rahasia besar yang tak akan dipercayai oleh siapa pun. Bahkan tidak oleh Nel sendiri, seandainya saja dia pernah mendengar satu saja cerita lain yang sedikit lebih baik.

Dia tidak sama dengan teman-temannya atau anak-anak mana pun di dunia ini. Dia sangat istimewa. Begitu kan, yang ingin disampaikan Nenek Rambut Putih melalui cerita itu? Jadi, Nel tidak perlu malu lagi jika teman-temannya mengolok-oloknya karena dia tidak punya ayah seperti yang mereka miliki. Mungkin juga tidak seorang ibu, begitu kata mereka, tetapi Nel yakin sekali yang terakhir itu keliru.

Nel tahu siapa ibunya. Dia perempuan dengan wangi mawar, tak seperti Nenek Rambut Putih yang perpaduan antara kapur barus dengan minyak kayu putih. Seakan-akan setiap pagi Nenek Rambut Putih mandi dan menggosok tubuhnya yang berkulit keriput dan menggelambir dengan kedua benda itu.

Perempuan Wangi Mawar memang lama tak terlihat lagi. Nel lupa kapan persisnya terakhir kali mereka bertemu. Sekarang usia Nel sudah hampir tujuh tahun. Nenek Rambut Putih sudah berjanji, bulan depan ia akan membuatkan Nel perayaan kecil-kecilan. Itu akan menjadi ulang tahun Nel yang pertama kali dirayakan dan Nel tidak tahu harus senang atau sedih.

Dia bahkan belum pernah mendatangi satu pun pesta ulang tahun teman-temannya. Pernah sih, Nel sampai di halaman rumah salah seorang temannya yang sedang berulang tahun. Ulang tahun keenam, satu tahun lebih tua daripada Nel. Namun sampai di situ saja, Nel sudah kapok dan bersumpah tak akan lagi mendatangi pesta siapa pun.

Ulang tahun atau bukan. Ulang tahun atau bahkan kematian. Apakah kematian juga dirayakan? Mengapa tidak dirayakan supaya arwah menjadi senang? Dan sedikit terkejut saat ada balon yang meletus. Ah, pikiran Nel memang sering terbang ke mana-mana sejak mendengar cerita Nenek Rambut Putih itu.

Kembali tentang Perempuan Wangi Mawar. Nel selalu berusaha keras untuk mengingat pertemuan terakhir mereka. Nel tidak bisa menemukan tanggal, hari, bulan, atau tahun. Namun yang pasti sebelum pesta ulang tahun teman yang membuat Nel kapok itu.

Nel bahkan ingat, jika setelah pesta ulang tahun sialan itu Perempuan Wangi Mawar datang lagi, ia bersumpah akan mengadukan ulah teman-temannya padanya. Nel tidak tahu apa yang akan dilakukan Perempuan Wangi Mawar setelah mendengar aduannya tentang anak-anak di pesta itu yang mengejeknya karena tak punya ayah. Ayah seperti yang mengantarkan mereka ke pesta itu, bahkan tidak seorang ibu yang bisa menguncirkan atau mengepangkan rambutnya dengan benar.

Nel cuma bisa menunduk saat itu. Sedalam mungkin sampai lehernya terasa sakit. Sampai dia merasa tak bisa lagi menelan setitik pun ludahnya sendiri. Sampai dia tak tahan lagi karena mereka juga mengolok-olok Nenek Rambut Putih yang telah rabun dan bertangan gemetar. Perempuan tua yang selalu membuat kucir atau kepang Nel berantakan sekeras apa pun ia mencoba merapikannya.

Saat itulah, Nel melemparkan kado buku tulisnya yang dibungkuskan oleh pemilik warung karena Nenek Rambut Putih tak bisa melakukannya dengan baik dan tak ingin membuat kertas kado atau sampul bukunya robek. Nel berlari sepanjang jalan. Terus berlari meski ujung roknya tersangkut semak sehingga rok itu koyak lumayan besar setibanya di rumah.

Nel tidak menangis. Nel tidak mengatakan apa pun pada Nenek Rambut Putih. Nel hanya masuk ke kamarnya, masuk lagi ke lemari, dan menutup pintunya. Nel tidak keluar sampai waktunya makan malam, saat Nenek Rambut Putih mengetuk pintu persembunyiannya dengan piring nasi di sebelah tangan. Nel memakannya langsung dengan tangannya yang belum dicuci, selagi Nenek Rambut Putih mendendangkan lagu-lagu yang tak Nel mengerti.

Sejak saat itu, Nel hidup dalam penantian. Ia menunggu Perempuan Wangi Mawar kembali datang. Memeluknya sebentar, melekatkan aroma mawar itu ke hidung dan seluruh tubuhnya, mengecup keningnya sekali, lalu meninggalkannya untuk berbicara dengan Nenek Rambut Putih.

Sampai Nel terlalu lelah bermain sendiri dan tertidur juga. Sampai Nel terbangun dan didapatinya Perempuan Wangi Mawar tak ada lagi di rumah seolah-olah ia memang tak pernah singgah. Yang tersisa untuk Nel hanyalah ingatan akan wangi yang ditinggalkan perempuan itu di tubuhnya dan di setiap sudut rumah.

Namun kali ini penantian Nel seperti tak berujung. Nel juga belum sempat menghitung kapan sebenarnya Perempuan Wangi Mawar selalu datang. Sepekan, dua pekan, atau malah sebulan sekali? Namun Nel yakin itu tidak terlalu lama, jelas tak pernah selama ini.

Bulan depan sudah benar-benar ulang tahunnya yang ketujuh, kan? Nel selalu ingin bertanya pada Nenek Rambut Putih. Namun entah kenapa setiap kali mereka sudah berhadapan, sepotong pertanyaan itu seketika tertelan. Nenek Rambut Putih bahkan tak pernah menyebut-nyebut perempuan itu di hadapan Nel. Apakah Perempuan Wangi Mawar memang hanya hidup dalam imajinasinya?

***

Sayang sekali. Perayaan kecil-kecilan yang diadakan Nenek Rambut Putih hanya makin menegaskan bahwa pesta seperti itu tak ditakdirkan untuk Nel. Tak seorang pun datang ke pestanya. Tidak teman-teman Nel, tidak juga tetangga-tetangga yang setua Nenek Rambut Putih.

Nel sudah menunggu selama seribu tahun sambil mengerjap-ngerjap pada ujung sumbu lilin yang tak kunjung bercahaya. Kalau saja tatapan sepasang matanya cukup untuk membuat segala hal di dunia ini terbakar sampai habis. Habis, sampai-sampai abu dan kepulan asap tak tersisakan.

"Apa boleh buat? Kalau menunggu lebih lama lagi, nanti ulang tahunmu terlewat. Tidak elok. Bisa mengundang celaka. Sini, biar kunyalakan lilin itu, pejamkan mata dan berdoalah, lalu tiup sampai padam dalam satu tarikan dan embusan napas."

Tangan gemetar Nenek Rambut Putih bahkan masih di atas kue saat Nel telah kembali memadamkan setitik api di ujung sumbu lilin. Tanpa memejamkan mata. Tanpa doa. Nel tak merasa perlu memanjatkan apa-apa pada siapa-siapa. Tidak ada yang diinginkannya.

Bahkan Perempuan Wangi Mawar pun telah timbul tenggelam dalam ingatannya. Lebih sering yang terakhir belakangan ini. Sepasang mata Nel masih mengerjap-ngerjap, menunggu Nenek Rambut Putih memberikan petunjuk berikutnya. Harus diapakan kue sebesar itu?

***

Sepuluh tahun tidaklah lama. Namun Nenek Rambut Putih telah berbaring di antara mimpi dan maut. Nel selalu ingin rebah di sebelahnya, tetapi Nenek Rambut Putih berkeras menghalaunya. Tak elok katanya, orang hidup dan sehat berbaring berdampingan dengan orang renta dan dalam perjalanan menuju kekekalan.

Ia mengisi ranjang itu persis di tengah dan Nel akan terguling jika mencoba peruntungan dengan berbaring di sisinya, kanan maupun kiri. Sampai suatu malam, Nenek Rambut Putih memanggil Nel dan memintanya duduk di tepi ranjang.

"Kau terlalu pendiam, Nel. Tidakkah kau pernah ingin sekali saja mengeluarkan semua yang ada dalam hatimu?"

Hati. Nel menggarisbawahi itu. Ia bahkan tidak terlalu yakin di mana letaknya. Atau lebih tepatnya, apakah semua orang memilikinya? Mungkin saja ada yang tidak seberuntung itu. Sebagaimana kehidupan selama ini berjalan di depan matanya. Nel hanya mengerjap-ngerjap, sama seperti sepuluh tahun lalu, sebelum dan sesudah ia memadamkan nyala api di lilin ulang tahunnya dalam satu tarikan dan embusan napas.

"Kau bahkan tidak bertanya tentang perempuan dalam peti yang pernah kita antarkan ke makam, Nel. Tidakkah kau ingin tahu siapa dia, mengapa kita harus berada di sana, bahkan menjadi yang terakhir pergi?"

Nel tak lagi mengerjap-ngerjap. Seperti ada yang menahan kelopak matanya dan itu bukan kesedihan.

"Nel, dialah perempuan yang dari sakunya kau ditemukan. Bergelung seperti udang dan ditiup-tiupnya sampai kau mekar seperti bunga."

Nel tidak yakin apakah dirinya terkejut atau justru sama sekali tidak. Yang jelas, setelah dua belas tahun berlalu, Nel kembali juga ke tempat persembunyiannya yang lebih gelap dan senyap daripada puncak malam. Lemari. Kali ini seraya melipat kaki dan bergelung selayaknya udang sungguhan.

Perempuan itu bahkan bukan perempuan yang pernah membalur tubuhnya dengan aroma mawar. Perempuan itu terlalu kurus dan kering sekalipun dirinya atau Nenek Rambut Putih tak diizinkan membuka peti yang telah dikunci dari rumah sakit. Hanya foto-fotonya yang tiba di rumah sekitar sebulan sebelum akhirnya mereka berdua harus pergi juga. Mengantarkannya ke peristirahatan terakhir meski Nel tak mengerti di mana ia beristirahat selama ini.

Kantuk tak juga datang. Yang terus mendatanginya hanya suara Nenek Rambut Putih yang berkeras mengatakan hal-hal yang tak ingin Nel dengar. Tentang ketidaksanggupan perempuan itu melihat parasnya. Tentang Perempuan Wangi Mawar yang tak lebih dari temannya dan menggendong pulang Nel dari rumah sakit bersalin.

Tentang uang yang selalu dititipkannya pada Perempuan Wangi Mawar untuk Nel. Sampai kepergiannya yang entah bersama salah seorang tamunya yang rutin datang dua kali dalam seminggu. Lalu Perempuan Wangi Mawar tak lagi punya alasan untuk datang dan Nel terjebak di balik pintu lemarinya.

Di akhir cerita, Nenek Rambut Putih bertanya, "Jadi, apa yang sekarang kau inginkan, Nel?"

Nel telah kembali mengerjap-ngerjap saja. Namun kali ini disertai air mata serupa beling yang membuatnya merasa sangat pedih. Nenek Rambut Putih terus mendesaknya dan Nel terus menggeleng-geleng.

Sampai dengan putus asa, perempuan itu memohon, "Legakanlah aku dengan mengatakan sesuatu, Nel. Bahkan meski itu hanya makian untuknya maupun untukku."

Lidah Nel telanjur tertelan. Ia berlari ke kamarnya dan seperti yang telah diceritakan, kembali ke tempat persembunyiannya dua belas tahun yang lalu. Nel ingin selamanya melipat diri di sana, seperti saputangan yang dahulu dicari-cari ibunya dari satu saku ke saku yang lain.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

Marliana Kuswanti dua buku terbarunya Rumah Kayu Itu (Bhuana Sastra, 2019) dan Rembulan Pecah di Wajah Tante Lin (Bhuana Sastra, 2020)




(mmu/mmu)

Hide Ads