Di dusun kami, beras sangat berarti. Kau bisa menukar satu gantang beras dengan jasa seorang perempuan. Ya benar. Hanya dengan satu gantang beras saja. Kau bisa bayangkan bila kau datang ke dusun kami membawa satu pikul beras, betapa akan terpincang-pincang kakimu berjalan pulang. Seluruh tenagamu akan habis diisap oleh kenikmatan yang kami miliki di dusun. Kalau tidak percaya, silakan datang membawa beras.
Dulu pernah ada seorang pemuda yang tersesat, entah dari mana asalnya bisa sampai ke dusun kami. Melihatnya muncul dari balik pohon dengan berbekal tombak di punggung membuat kami ketakutan. Tombak itu terlihat tajam dan sedang merindukan darah, artinya seorang utusan Tuhan sudah ingin mencabut nyawa salah satu budak dusun yang terlahir bodoh ini. Tetapi alih-alih datang mencabut nyawa, pemuda itu malah terkagum-kagum sendiri melihat kami, terutama perempuan.
"Apa yang kaucari?" tanya kami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak ada yang kucari!" jawab pemuda itu.
"Apa yang kau perlu?"
"Tak ada yang kuperlu!"
"Kenapa kau kemari?"
"Karena ke sini kaki membawaku!"
Setelah saling tertegun untuk beberapa saat, pemuda itu mengeluarkan sesuatu yang berbentuk kerikil putih runcing-runcing dari gulungan bambu yang tergantung di pinggangnya. Ia mulai memandang perempuan-perempuan yang ketakutan bersembunyi di balik semak dan pohon besar. Sudah lima tahun pemuda ini mengembara membelah hutan, tak satu ia temukan pemukiman. Tapi kali ini, ia seakan tak percaya sedang melihat surga dengan bidadari yang menyembunyikan paras mereka.
"Apa yang kau keluarkan? Jimat?"
"Bukan. Ini beras. Bolehkah kutukar beras ini dengan satu perempuan kalian?"
"Beras? Untuk apa beras?"
Mulailah pemuda mendongeng tentang beras yang ia bawa. Pada akhirnya, negosiasi kami membuat kesepakatan dengan pemuda. Jika benar kerikil bisa menjadi lembut, maka satu perempuan bisa ia dapatkan. Tapi jika tidak, daging pemuda itu yang akan kami jadikan sesuatu yang lembut di perut.
Dengan saksama kami menyaksikan bagaimana seorang pemuda menyulap kerikil. Dimasukkan air dalam baja cekung yang dibawanya, direndamlah kerikil itu, dan dibuatkan api di bawahnya.
Ternyata benar, kerikil yang bernama beras ini bisa disulap menjadi lembut. Kami takjub. Kesepakatan tetap kesepakatan. Bagi kami leluhur nenek moyang yang memegang teguh apa yang sudah dikatakan tidak boleh dijilat lagi. Pemuda itu boleh memilih satu perempuan yang kami miliki di dusun.
Kami masih heran. Pemuda itu bagaikan malaikat cerita nenek moyang yang datang menyulap benda menjadi benda lain. Kerikil yang ia bilang beras bisa disulapnya, dan bisa dimakan dengan nikmat. Itulah hari pertama ketika kami mengenal kerikil putih runcing-runcing bernama beras, yang bisa menjelma jadi sesuatu yang lembut di perut. Dan sejak saat itu pula kami bersumpah, bagi siapa saja yang datang ke dusun membawa beras akan kami balas dengan kenikmatan.
***
Setelah pemuda berlalu, ada juragan beras yang sudah berumur tapi tak kawin-kawin. Ia dengar kabar dusun kami bisa memberi kenikmatan hanya dengan menukar satu gantang dari berpikul-pikul beras miliknya. Tentu ia tidak percaya dan menertawakan begitu saja apa yang ia dengarkan. Namun, setelah membuktikannya secara langsung ia terkepor-kepor menguat-nguatkan diri dalam kenikmatan yang kami berikan. Sayangnya sebelum semuanya selesai ia lebih dulu meninggal dalam kenikmatan itu.
Itu bukan salah kami. Ia sendiri yang datang dengan membawa banyak beras. Padahal kami hanya perlu satu gantang saja untuk ditukar dengan satu kenikmatan. Setelah juragan itu, ada lagi seorang saudagar ke dusun kami. Ia benar-benar membawa satu gantang beras. Kami mempersilakan dia untuk memilih sendiri kenikmatan seperti apa yang ia cari. Betapa kaget sang saudagar, seakan tidak percaya bahwa perempuan berwajah manis nan segar-segar kami relakan begitu saja padanya.
Sebaliknya kami juga dibuat heran ketika sang saudagar hanya sibuk mengucek-ngucek matanya seolah sedang berada di surga. Setelah mendapat kenikmatan itu, sang saudagar tersengsem sendiri menahan muka merahnya yang menyimpan malu dalam-dalam. Sejak itu sang saudagar sering datang setidaknya sebulan sekali membawa satu gantang beras.
Kini orang dusun kecanduan makan beras. Keinginan semakin banyak, mulut terasa ingin terus mengunyah beras, perut terus terasa lapar, beras satu gantang dari saudagar tak pernah cukup bagi kami. Kami sudah coba kembali ke kebiasaan dulu, memakan daging babi, ikan, burung, biawak, kadal. Namun, rasanya tak lagi nikmat seperti dulu setelah kami mencecap beras. Bahkan hasrat kami ingin membunuh binatang telah sirna.
Kami mulai berdoa agar ada seseorang, atau juragan, atau pemuda lain yang datang membawa beras. Tapi seakan semua itu hanya doa-doa yang bertabrakan di langit-langit sebelum sampai di telinga Tuhan. Hingga di ujung tuntutan kami pada Tuhan, justru saudagar yang dulu tak pernah muncul lagi. Kami menangis sepanjang malam dan menganggap Tuhan sudah mengutuk kami yang terlalu banyak makan beras.
Sampai saat seorang pengembara terjebak di dusun kami. Ia menyebut: tanamlah padi, maka ia akan jadi beras pada suatu waktu. Kami yang mendengar apa yang ia sebutkan tidak tahu harus berbuat apa. Yang kami bingungkan bagaimana cara menanam padi dan apakah padi itu sendiri; mengapa ia bisa menjadi beras. Sebelum kami mendalami apa yang dimaksud sang pengembara itu, ia lebih dulu pergi melanjutkan perjalanannya.
Dalam kebingungan, kami ditinggal begitu saja. Pertanyaan misteri yang seakan membengkak dalam kepala itu terus memaksa kami untuk memohon pada Tuhan agar diberi kesempatan memakan beras untuk terakhir kalinya.
"Sudahlah, nenek kita tidak makan beras!" ucap salah satu budak dusun yang seakan tak mau larut dalam kesedihan dan terus menuntut Tuhan agar diberi kesempatan makan beras.
"Nenek kita menombak babi! Babi untuk dimakan!" sahut orang dusun di sebelahnya yang tersentak sadar.
"Nenek kita membunuh menangguk ikan! Ikan untuk dimakan! Segar pula!" sahut budak lain.
Teriakan bergantian itu menyelamatkan harapan kami yang pupus. Silih berganti kami saling memandang dan berbalas senyum. Kami mulai yakin kembali pada apa yang sudah dititipkan oleh nenek moyang dulu. Babi, ikan, kadal, kodok adalah makanan yang nikmat.
Setelah menjalani hidup seperti biasa kami tak lagi peduli pada saudagar yang tak lagi muncul membawa beras.
Suatu malam cahaya hijau berseri di langit, menggumpal seperti asap yang tebal, seorang lelaki muncul dari balik cahaya itu. Bersamaan dengan kemunculannya, menguarlah wangi daun pandan semerbak membuat kami terkagum-kagum. Lelaki itu membawa sekantong biji yang diakuinya adalah biji padi unggul.
Begitu cepat, setelah lelaki itu meletakkan sekantong biji padi ia menghilang dalam kelap-kelip bintang. Sementara kami masih terkesima oleh wangi yang tersisa. cukup lama kami bertahan diam wangi itu tak kunjung hilang. Sampai tercenung memandang biji dalam kantong itu, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing untuk menyimpan kenangan wangi yang menghunjam hidung kami.
Ketika musim hujan, air berkali-kali menghajar tanah. Meninggalkan genangan. Genangan itu jadi tempat bermain baru. Kami merendam diri dan kadang berguling-guling di sana sampai hari menjelang gelap. Sampai hujan datang lagi. Sampai hujan pergi lagi. Sampai kami berguling-guling lagi. Begitu seterusnya sampai kami sadar dalam kubangan air genangan telah tumbuh tunas kecil berwarna hijau. Karena heran dan baru pertama hal ini terjadi kami berbondong-bondong untuk melihat.
Tak satu pun dari kami yang dapat menjelaskan sesuatu yang tumbuh ini. Kami berdiam untuk waktu yang lama. Tak berani menyentuh atau mencabut tunas hijau itu. Sebelum gelap, keseriusan kami menerka tunas hijau dibuyarkan oleh teriakan seseorang yang datang. Ia sudah lama tak tampak, kini hadir membawa kebahagiaan. Dialah saudagar yang menenteng satu gantang beras. Sontak kami berdiri dan berlari ke arahnya.
"Coba lihat, Saudagar. Apa yang sudah kami temukan! Tunas hijau! Tunas hijau!"
Saksama kami menggiring saudagar ke genangan tempat tunas hijau itu. Tapi setelah menyisir dengan teliti tunas itu tak terlihat lagi.
"Sudahlah. Aku datang bawa beras!" ucap saudagar.
Kami diam untuk sesaat, mata kami tertuju pada senyuman yang berkobar-kobar di wajah saudagar.
"Mari, kita sulap beras itu!"
Keterangan:
Budak = orang
Gantang = satuan ukuran berat 3,125 kg
Pikul = satuan ukuran berat 62,5 kg
Menangguk = menangkap
Beri Hanna lahir di Bangko Jambi, belajar di Kamar Kata Karanganyar, berteater bersama Kelompokseseme & Tiliksarira
(mmu/mmu)