Pada suatu pagi cerah setelah badai hujan memorak-porandakan kota semalaman, seorang lelaki paruh baya duduk di sebuah halte bus. Matanya tak henti-henti melirik ujung jalan dan sesekali ke jam tangannya. Lengan kirinya mengapit sebuah payung kantor kecil berwarna oranye, pilihan warna yang buruk untuk waktu-waktu seperti itu, bahkan jika sekedar untuk berjaga-jaga. Dan di sampingnya sebuah tas jinjing hitam berisi dokumen-dokumen kantor.
Ia cemas karena tak seperti biasanya bus datang terlambat. Lima belas menit berlalu dan belum ada tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan tempat itu. Menunggu adalah aktivitas yang menjengkelkan, membuat pikiran mengembara ke mana-mana, dan bagi lelaki tersebut seringkali berakhir tak menyenangkan.
Itulah yang terjadi padanya saat ini. Ia mulai kesal karena tak bisa menghapus kejadian semalam dari pikirannya. Tidak. Ini bukan tentang badai hebat yang menerbangkan sebagian genting di dapur dan mengakibatkan serbuan air hujan merembesi seisi rumah. Atau luapan air di kloset yang memuntahkan semua kotoran dari bak penampungan tahi atau semacamnya.
Ini tentang sesuatu yang datang bersama badai itu, karena sementara ia sibuk menyumpal rembesan air, sang istri seperti kesetanan mulai mengoceh tentang kualitas hidup di belakangnya. Ia sendiri bahkan tak ingat bagaimana itu semua dimulai. Satu-satunya hal yang pasti diketahuinya, setelah semua telanjur terjadi, adalah adegan ketika istrinya membanting pintu dengan marah dan melangkah keluar rumah untuk menghilang di balik hujan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kain gombal di tangan, lelaki itu menengok dari jendela, memerhatikan sosok istrinya menunjuk-nunjuk ke dalam rumah sambil menjambaki rambutnya sendiri dan terus mengoceh. Melalui celah tipis antara gelegar guntur dan rintik hujan, sayup-sayup ia mendengar teriakan istrinya, "Kau baru akan sadar bahwa ketika aku pergi, seisi dunia pun akan meninggalkanmu!"
Itu terdengar seperti dialog telenovela, tapi justru karena itulah istrinya jadi begitu menjengkelkan.
Waktu berlalu, lima belas menit, dua puluh, empat lima, sejam. Waktu yang berlalu semakin menumpuk rasa kesal pada diri lelaki tersebut. Ia melepas dua kancing paling atas kemejanya dan menyisir rambut tipisnya ke belakang menggunakan tangan. Jari-jarinya jadi berminyak dan itu membuatnya semakin jengkel.
Sebenarnya ia menikahi perempuan yang baik, setidaknya dulu, sebelum hal membingungkan ini terjadi. Tak ada yang salah dengan pernikahan mereka. Istrinya tidak cantik tidak juga begitu jelek. Ia adalah perempuan terbaik yang bisa didapatkannya sepanjang usahanya mencari cinta, mengingat jika keduanya bertemu tatap mereka terlihat mirip satu sama lain dan ia merasa seperti memandangi diri sendiri.
Kehidupan keduanya pun berjalan lurus-lurus saja. Tak ada pertengkaran berarti, mereka terlalu lelah untuk saling mempermasalahkan apa pun. Mereka bercinta tapi belum memutuskan untuk memiliki anak. Mereka berjalan-jalan, kehabisan uang, dan mengusir kemalangan hidup dengan tawa getir sekadarnya. Sampai kemunculan hujan badai malam itu yang membawa serta istrinya pergi.
Lelaki itu memandang ujung jalan di kejauhan. Ia berpikir mungkin busnya mengambil jalur lain, atau tertahan di suatu tempat karena demonstrasi mahasiswa yang menolak kenaikan BPJS, atau kementerian yang mencuri dana publik. Ya, akhir-akhir ini memang banyak demonstrasi. Ia memandang ke ujung jalan sekali lagi lalu menyesali kebodohannya sendiri. Lelaki itu menenteng tasnya dan bangkit dari duduknya.
Istri sialan, bus sialan, ujung jalan sialan, bos sialan, satpam kantor sialan, mahasiswa sialan, pemerintah sialan, jaminan kesehatan penipu, menteri sialan. Semuanya sialan pagi ini, di bawah langit ini. Juga kaleng Fanta sialan, begitu ia menendangnya sekuat tenaga, nyaris mendarat menghantam rolling door sebuah toko bahan bangunan yang masih tutup. Dasar pengusaha malas, umpatnya.
Ia melirik jamnya, pukul delapan dua puluh, dan kembali ke jejeran ruko. Pantas saja ekonomi Indonesia begitu tertinggal di Asia, kelakuan orang-orangnya....
Tunggu sebentar.
Ia memerhatikan jalanan. Suasana begitu sepi. Sampah plastik menggelinding terbawa angin dingin pagi itu dan sepasang kodok meloncat ke genangan kotor begitu melihatnya melintas. Jejeran ruko tertutup, kios koran ditinggal penjaganya. Tak satu pun kendaraan melintas. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri menggema di langit cerah di atasnya. Betapa sunyinya. Lelaki itu berhenti untuk mengetuk sebuah pintu rumah. Tak ada balasan. Ia memutar gagangnya dan masuk ke dalam.
Di ruang tamu, televisi menyiarkan Apa Kabar Indonesia Pagi yang menyisakan meja dan dengung panjang pengeras suara ditinggal pembaca beritanya entah ke mana. Lelaki itu menyapa penghuni rumah, memeriksa setiap kamar, dapur dan lantai atas. Tak ada orang.
Ia berlari ke luar. Di jalanan pun demikian. Ke mana perginya orang-orang ini? Dunia kosong melompong. Tak ada manusia. Ia mencoba berpikir jernih, tapi apa yang harus dijernihkan? Semuanya justru sangat jernih. Tak ada seorang pun selain dirinya. Ia sendirian di dunia ini. Lelaki itu menarik napas panjang dan memutuskan berjalan terus ke kantor, dan setiap langkah yang diambilnya ia bisa merasakan tubuhnya melayang seperti sobekan kapas.
Perasaan itu membuatnya tersentak, seketika tersadar bahwa ada semacam belenggu-belenggu tak kasat mata yang selama ini merantai setiap jengkal tubuhnya, dan kini benda itu seperti meluruh satu per satu. Di pagar, tak ada lagi satpam berkumis yang selalu memandang remeh kariernya, dua belas tahun sebagai akuntan, bahkan ia belum memiliki mobil sendiri!
Ya. Tak ada lagi ocehan istrinya, menuntut ini-itu atas hidup yang serba kekurangan. Tak ada lagi tawa-tawa bocah sekolah sialan yang selalu membuntutinya di gang sempit sambil bertepuk tangan, mengatakan kebotakan yang dimilikinya membuatnya terlihat seperti badut. Tak ada lagi bos yang menyiksanya dengan jam-jam lembur, atau asisten pribadi bosnya yang begitu pedas lidah, dan rekan sekantor yang menatapnya seperti saingan. Tak ada lagi manusia-manusia sialan itu. Mereka semua lenyap ditelan bumi.
Semalam ia agak sedih mendengar ancaman istrinya, tapi pagi ini, mendapati fakta bahwa tak cuma istrinya, seisi dunia juga meninggalkannya membuatnya mengucap syukur keras-keras ke langit. Untuk pertama kali dalam usia hidupnya yang penuh tekanan ia mendapatkan kembali kebebasannya. Namun, sekonyong-konyong sejenis kecemasan lain muncul. Bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya sendirian di dunia? Dan hatinya pun berbisik, pokoknya jalani saja dulu hidupmu.
Baiklah, tapi dari mana kita akan memulai hidup yang baru ini?
Jawabannya datang beberapa saat kemudian, ketika dari belokan gang seorang gadis muncul menaiki sepeda ukuran anak-anak berwarna pink. Ia tak benar-benar sendirian.
"Tentu saja," kata gadis itu, seperti membaca pikirannya. "Dunia telah melenyapkan sebagian besar populasi bumi yang menjengkelkan."
"Bagaimana kau tahu?"
"Ini cuma perkiraanku saja, kalau benar bahwa Om juga merasakan hal yang sama denganku...."
Gadis itu lalu bercerita tentang hidupnya yang penuh tekanan di dalam rumah. Ia tumbuh sebagai seorang putri dari keluarga kelas atas yang begitu gila prestasi. Gadis itu ingin menjadi musisi punk rock, tapi ibunya memaksanya ikut sekolah model. Jadi pada suatu malam, ia memanjati jendela dan memutuskan untuk kabur dari rumah dan membawa serta kutukan sosial dari lingkungannya.
"Badai semalam benar-benar sebuah berkah."
Lelaki itu memperhatikan si gadis. Cantik seperti putri. Rambutnya diwarnai keperakan dan sedikit ungu pada ujung poninya. Mulutnya mempermainkan permen karet, membuat bola sebesar kepalan tangan, dan kakinya yang jenjang direntangkan ke depan. Mereka saling bertatapan lama sampai si gadis menawarkan sesuatu yang akan mengarahkan kita langsung ke akhir cerita ini.
"Jadi, bagaimana, Om?"
"Apanya?"
"Sudah memutuskan bagaimana melanjutkan hidup?"
"Belum, tapi saya rasa...."
Gadis itu tertawa terkekeh dan melemparkan senyum yang sangat indah. Dengan gerakan kepala ia memberi tanda pada lelaki itu untuk naik ke boncengannya.
"Tunggu dulu," si lelaki kikuk, ia melihat sekeliling.
"Apa yang harus dikhawatirkan? Tak ada orang lain di dunia ini. Hanya kita berdua, seorang gadis dan lelaki yang...seumuran ayahnya. Maksudku, tak ada moralitas, tak ada sanksi sosial, tak ada orang lain. Dunia ini hanya menyisakan orang-orang seperti kita berdua."
"Entahlah," lelaki itu mendesah pelan, "Kuharap kita akan menemukan manusia lain di ujung belokan sana."
Ia lalu naik ke boncengan dan merasa malu mendengar roda belakang sepeda itu menjerit-jerit menahan berat badannya. "Tidak apa-apa, pegangan yang kuat, Om!" Si gadis tertawa kecil dan mulai mengayuh sepeda itu.
"Satu hal lagi," kata si lelaki ketika keduanya telah mencapai keseimbangan. Gadis itu menoleh ke belakang. "Jangan panggil aku Om."
Tak ada jawaban, tapi ia bisa melihat sudut bibir si gadis terangkat. Keduanya meluncur di jalanan siang yang lengang, di atas sepeda anak-anak berwarna pink untuk melanjutkan hidup yang entah di mulai dari mana. Kami akan melanggar prinsip kebebasan yang jadi tujuan utama cerita ini bila berbicara terlalu jauh. Cukuplah penulis bertugas untuk membebaskan keduanya dari tekanan hidup yang diberikan oleh fiksi.
Tentang bagaimana si lelaki tua dan gadisnya memulai hidup, entah dengan tidur bersama dan melahirkan anak --semoga lelaki itu tidak berbohong tentang impotensi-- atau merampok habis isi minimarket dan membakar kantor pemerintah, atau bertualang ke negeri seberang itu terserah keduanya. Tugas penulis sampai di sini saja, saya kira.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)