Kafan Kiriman

Cerita Pendek

Kafan Kiriman

Ilham Fauzi - detikHot
Minggu, 15 Sep 2019 10:08 WIB
Kafan Kiriman
Ilustrasi: M Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta - Siapa yang menanam akan menuai. Itu janji Maha Pencipta. Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah, Sang Pencipta tiada akan melupakannya. Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Lalu mengapa kemudian manusia merusak benih, merusak yang tumbuh di atas tanah? Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan, padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung. Adakah manusia merasa bisa hidup tanpa pohon dan kayu? Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama rata dengan tanah, umat manusia masih saja berbuat kerusakan. Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan punya hati untuk merasa.

Seekor burung gagak hinggap di batang pohon yang terbakar. Pohon itu nelangsa. Pucuk yang polos menatap langit, tubuh telanjang menantang bumi. Ranting dan daun berkhianat. Mereka tinggalkan tubuh pohon lalu lenyap bersama kobar api yang jalang. Jika kobaran itu kembali, sekali lalap saja pohon-pohon yang dititahkan menjaga bumi amblas selamanya. Mereka, pohon-pohon yang diamanahkan Tuhan untuk menghidupi manusia, akan benar-benar pergi tak akan kembali. Lalu enyahlah hijau yang selama ini melingkupi bumi.

Titik-titik api yang membakar dengan nyalang telah pulas tidur dalam mimpi yang panjang. Tersisa lubang-lubang hitam menyedihkan. Warnanya hitam sepekat malam tanpa purnama dan bintang. Kabut melintasi cakrawala; makhluk-makhluk bernyawa kehabisan udara. Burung gagak mulai bosan. Ia kepakkan lagi sayapnya, lalu kembali mengudara di kesunyian malam, membelah kesedihan, menerobos kekecewaan yang bergayut pada pohon-pohon pesakitan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang lelaki paruh baya mendongakkan wajahnya melihat persada. Keruh saja mukanya. Wak Etam bermuram durja sejak Wak Enau, sahabatnya, berlalu belum begitu lama. Kampungnya dicengkeram fitnah. Fitnah yang bila tidak bisa ia jinakkan akan berakhir dengan fitnah berdarah. Harusnya ia tidak begitu kusut.

Menghadapi perkara hasut-menghasut baginya selaku kepala suku Sakai yang mendiami belantara hutan di pedalaman Sumatera adalah hal yang lumrah dan kerap bisa ia selesaikan dalam waktu yang tidak sampai tiga kali matahari terbit. Tetapi persoalan yang ia hadapi saat ini benar-benar di luar apa yang ia kirakan. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya apa yang harus dilakukan bila suatu hari bualan kosong itu yang mengarah pada dirinya. Kini ia seperti terperosok pada sebuah lubang yang dalam, kelam, dan mengerikan. Fitnah itu mengarah pada dirinya bak bumerang ganas yang tak membiarkan sasarannya lepas begitu saja.

"Engkau harus pergi paling lambat tengah malam in, Wak," Wak Enau meyakinkan kawannya itu. "Aku dengar mereka akan mengirimimu kafan berbungkus-bungkus. Bukan tidak mungkin pada akhirnya akan terjadi pertumpahan darah sesama kita."

Wak Etam tertegun mendengar ucapan lawan bicaranya. Selama ini, sebagai orang yang dituakan di dalam suku, ia selalu mengutamakan adat bermusyawarah bagi setiap anggota. Ia sangat mengecam jika ada dari mereka yang membicarakan suatu perkara dari belakang dan secara diam-diam. Hal semacam itu baginya sungguh tidak beradab.

"Berangkatlah, Wak ke mana engkau hendak pergi. Biar aku yang menyelesaikan perkara ini," kembali Wak Enau membujuk lelaki yang tak kunjung bereaksi apa-apa itu.

"Kau tahu Enau?" Dua bola mata Wak Etam yang lamur menatap gumpalan asap dari kejauhan yang tak kunjung sirna, lalu sejurus kemudian ditatapnya mata Wak Enau dalam-dalam, "Aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Puncak dari keputusasaan adalah kepengecutan itu sendiri. Dan itu benar-benar menyedihkan jika aku sampai berbuat demikian."

Seperti halnya mendung yang menyinggahi wajah Wak Etam, wajah Wak Enau yang mulanya segar ikut tersapu mendung. Ia juga tidak ingin ada pertumpahan darah yang sejak dahulu senantiasa dijaga leluhur mereka. Hutan yang mereka tinggali saat ini adalah hutan yang selalu mencurahkan rezeki. Bila pertentangan terjadi, maka ladang rezeki akan pergi.

"Tapi Wak, mereka bisa saja berubah menjadi harimau lapar yang tak peduli lagi mana tata krama mana sopan santun. Kau bisa kembali lagi ke sini setelah aku bisa menyelesaikan kesalahpahaman mereka yang terhasut itu."

Wak Etam menggeleng. Matanya berair, menahan kesedihan yang mendalam. "Kau tahu Enau? Aku mengorbankan hidupku agar suku Sakai dapat hidup terus-menerus. Aku tidak takut dengan mereka yang tiba-tiba berubah menjadi inyiak lapar itu. Yang aku takutkan, apabila si penghasut itu berhasil menebar fitnah ke mana-mana dan membuat suku kita binasa karena pertumpahan darah sesama mereka. Itu lebih mengerikan dari bencana apa pun."

Beberapa saat lamanya Wak Enau terdiam. Tak tahu lagi apa yang harus ia ungkapkan. Akhirnya ia menyerah atas kekukuhan lelaki di depannya. Harusnya sejak awal ia sadar bahwa Wak Etam sukar dibantah. Dan saat ini ia pikir ada baiknya jika ia undur diri di hadapan Wak Etam. Semakin lama ia di sini akan semakin kuat pula alasan laki-laki itu menolak tawarannya.

"Kalau begitu maumu Wak, aku menurut. Tetapi jika orang-orang di suku ini tiba-tiba berubah menjadi orang yang tidak tahu aturan, kau jangan terkejut. Orang-orang asing yang kau terima dengan baik tempo hari barangkali telah menebar fitnah ke mana-mana." Wak Enau segera berlalu. Tak perlu waktu lama, tubuhnya hilang ditelan malam.

Wak Etam menatap kepergian Wak Enau dengan hati gerimis. Dengan lirih ia berujar, "Bukan mereka yang tidak tahu etika, Enau. Tetapi orang yang menghasut akulah yang benar-benar keji dan tidak memiliki hati nurani."

Selepas kepergian Wak Enau, pikiran Wak Etam mengembara ke mana-mana. Teringat olehnya betapa hutan ini adalah sebaik-baik tempat berlindung bagi ia dan kaumnya. Tetapi kini mereka diusik oleh orang-orang asing dengan senyum yang tiap sebentar menyembul di balik bibir-bibir mereka yang kehitaman. Orang-orang asing yang mulanya berlaku penuh sopan lalu menunjukkan rupa dengan segala ketamakan.

Bagi Wak Etam, ajaran untuk menjaga hutan tempat mereka berlindung telah terpatri benar dalam dirinya. Hal itu turun-temurun menjadi kebiasaan yang harus ia lanjutkan. Tidak ada yang boleh menggunakan hasil alam melebihi kebutuhan. Kayu harus diambil dari pohon yang telah tua, ikan hanya boleh ditangkap untuk sekadar dimakan. Kehidupan anggota sukunya selalu ia jaga dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh ada perselisihan di antara mereka. Meskipun sekali waktu tetap ada perselisihan di antara anggota kaumnya, Wak Etam sebagai kepala suku bisa berlaku adil. Tak ada badai fitnah yang berkunjung ke tanah mereka.

Tetapi semuanya menjadi asing ketika manusia-manusia modern mendatangi tempat mereka. Wak Etam menyambutnya dengan senang hati sehingga membuat orang-orang itu datang berkali-kali. Entah dari mana datangnya, ada yang berkabar bahwa kedatangan mereka untuk menjarah hutan yang selama ini mereka jaga. Ucapan seseorang itu didukung ketika pada kesekian kalinya manusia-manusia dari negeri yang jauh itu membawa sebuah mesin chainsaw, lalu suara benda itu bak gemuruh mengamuk yang membelah kedamaian hutan. Pohon-pohon bertumbangan, dan Wak Etam sebagai orang yang disegani dan dituakan mengizinkan apa yang mereka perbuat. Kepada para kaumnya yang belum mengerti ujung pangkalnya mengapa manusia-manusia modern itu diberi hati, Wak Etam menjelaskan.

"Mereka hanya diizinkan menebang pohon-pohon yang telah tua. Jika tidak percaya, datanglah ke hutan sebelah barat. Lihat, aku melarang mereka menebang pohon-pohon yang terus tumbuh."

"Tetapi Wak, diperlakukan begini mereka seperti di atas angin. Tanpa sepengetahuan kita, mereka bisa saja menebang pohon lain."

"Mereka tamu. Kewajiban kita memberikan apa yang mereka butuhkan selama kita mampu. Jika mereka melanggar, maka mereka tidak akan bisa lari dari murka alam."

Dan kaum Wak Etam tak lagi berbalas kata. Semakin hari terlihatlah bahwa yang ditebang tak lagi pohon-pohon yang sudah tua umurnya. Mata Wak Etam yang tak lagi terang luput melihat hal ini. Hatinya terus berbaik sangka pada manusia-manusia yang baru ia kenal. Terlebih lagi manusia itu suka membawa berbagai bungkusan dan diserahkan pada Wak Etam. Oleh Wak Etam sembako itu dibagi rata. Dan anggota kaumnya menerimanya dengan tanggapan yang berbeda-beda.

Lalu fitnah semakin tuntas menjalankan kesumatnya. Ketika penjarahan semakin menghabiskan rerimbunan hutan belantara dan asap pembakaran menguar di mana-mana, ketika itulah Wak Etam sadar orang-orang itu melanggar perjanjian. Dan ketika semua itu hampir sampai pada puncaknya, fitnah bertubi-tubi mengarah pada Wak Etam. Kaumnya kini menganggap ia penyebab mereka kehilangan alam yang selama ini mereka jaga. Dan atas saran seseorang, Wak Etam harus dikirimi kain kafan. Itu adalah sebuah penghinaan yang tak termaafkan.

***

"Dor!"

Pagi berkabut. Wak Etam bersimbah darah. Ia tak sempat melakukan perlawanan. Beladau yang biasanya terikat erat di pinggangnya raib entah ke mana. Manusia-manusia yang dulu ia sambut dengan kebaikan hati, menodongnya dengan sebuah senjata yang memercikkan api di moncong benda itu. Senjata itu memuntahkan timah panas tepat di ulu hati Wak Etam.

Dari kejauhan, Wak Etam melihat para kaumnya berbondong-bondong mendekat dengan berbungkus-bungkus kain kafan di tangan. Seperti kata Wak Enau semalam, mereka benar-benar datang membawa kafan. Fitnah telah mewabah dengan sempurna.

Tak jauh dari sana, Wak Etam melihat Enau berdiri tidak jauh. Senyum Wak Enau menguak lebar. Bayangan akan menjadi orang yang menggantikan posisi Wak Etam sebagai kepala suku telah menari-nari di depan matanya. Mata Wak Etam menatap kawannya itu dengan selaksa penyesalan dan kesedihan. Bagi Wak Etam tak ada yang paling menyedihkan selain kepengecutan dan pengkhianatan. Di pelupuk matanya yang semakin terkatup, ia melihat tanah yang selama ini ia jaga dengan mempertaruhkan jiwa, perlahan dibumihanguskan oleh orang-orang yang membungkus dirinya dengan pengkhianatan.

Dalam gelap, Wak Etam melihat pohon-pohon mendekat kepadanya. Menjangkau tangan Wak Etam yang lemah lalu membawanya ke pedataran rumput yang subur. Wak Etam terpesona lalu dirasakannya tubuhnya makin menjauh meninggalkan rimba belantara.

Jakarta, Agustus 2019

Ilham Fauzi berdomisili di Jakarta. Cerpennya berjudul Ziarah terpilih sebagai Pemenang Unggulan dalam Sayembara Cerpen Pekan Sastra Betawi 2019 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads