Si selamat mendapat sisa-sisa ledakan dengan kondisi hampir tewas sebelum ditolong yang lainnya. Dia diseret jauh ke belakang dengan punggung menyaruk tanah berdebu yang tercampur darah. Menghantam kerikil, selongsong peluru, bekas granat, daging-daging manusia yang tercecer, tanda pangkat, sepatu, bahkan botol minuman. Hingga akhirnya Si selamat dinaikkan ke tandu. Meninggalkan medan pertempuran di depan yang masih saling memuntahkan peluru.
Tembakan dan ledakan terdengar alami. Si selamat merapatkan gigi atas dan bawahnya sekuat mungkin. Dia berbaring di atas papan kayu sederhana yang digotong oleh dua orang medis. Dia tidak bisa merasakan bagian bawah tubuhnya. Dia berusaha keras menjejakkan kaki kanannya. Tapi dia tidak merasakan apapun. Lalu dia meremas jari-jemari kakinya. Tapi tetap saja, dia tidak merasakan apapun. Seakan-akan bagian tubuhnya dari bawah pusar hingga kaki cuma ruang kosong. Hanya bentuk tanpa isi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya, Tuhan!" jeritnya lebih keras lagi.
"Maaf, Tuhan tidak hadir di medan perang," sahut orang yang menggotong di belakang. Dia laki-laki berumur dua puluh lima tahun dengan kepala botak licin. Matanya sedikit sayu karena kelelahan. Tapi bibirnya mengembang ceria. Dia menghayati dirinya bukan sedang ada di medan perang, melainkan di sebuah taman bermain. Dan dia membayangkan tengah bermain dengan teman-temannya.
Dengan tangan kirinya yang baik-baik saja, Si selamat melepaskan helm besinya. Penutup kepala setengah bola itu menggelinding dan jatuh ke tanah. Tertinggal bersama suara tembakan dan ledakan di belakang yang semakin mengganas. Si selamat memandang langit yang kelabu. Entah itu karena debu dan asap senjata perang, atau memang sedang mendung. Tapi, matahari tidak tampak. Akan sial jika mati tanpa melihat langit yang cerah, pikirnya.
"Apa kau menghitung sudah berapa prajurit yang kita bawa hari ini?" orang yang di depan menoleh ke belakang, bertanya.
"Dua puluhan, kukiran, Bro," jawab Migo. "Yang pasti belum ada tigapuluh."
"Sial! Kita kalah dengan Jip dan Leri," kata Brown. "Tadi, mereka bilang sedang menjemput yang ke empat dua."
"Di mana mereka bisa mendapatkan sebanyak itu?" Migo bertanya-tanya. Dia celingukan ke segala arah. Sebuah tank yang berubah menjadi rongsokan teronggok seratus meter di sisi kiri mereka. Di sebelah kanan, anjing-anjing liar memakan peretelan bagian tubuh manusia. Mendadak Migo menjadi agak ngeri. Membayangkan jika dirinya yang disantap anjing.
"Woi! Apa kalian bisa lebih cepat," ujar Si selamat dengan meringis. Dia mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat. Berusaha memindahkan semua ketegangan syarafnya ke telapak tangan yang diremas.
"Apa kau kira kami tidak lelah menggotongmu?" kata Brown. "Orang sebelum kau yang kami gotong tubuhnya dua kali lebih besar. Dan itu membuat kami harus menggotongnya perlahan agar tidak jatuh. Sayang orang itu akhirnya mati juga." Dia semakin memperpendek jangkah kakinya. Dia lebih tua dari Migo. Oleh karena itu, dia merasa punya kuasa soal kriteria tentara yang dibawa dan seberapa cepat mereka harus membawanya.
Migo berkata, "Bro, kukira dia ada benarnya juga. Kita kalah dengan Jip dan Leri karena kita cuma berjalan saja. Sementara mereka berlari dengan penuh semangat." Dia mengimbangi kecepatan Brown.
"Apa kau bisa diam? Semakin kita berbicara, semakin lama kita sampai, semakin lelah tubuh kita, semakin sempit peluang tentara ini hidup."
Si selamat mendengar ucapan medis yang di depan. Dia juga memilih membisu. Menikmati langit kelabu. Berdoa sebanyak-banyaknya agar Tuhan hadir di medan perang memberikan peluang untuk dirinya hidup lebih lama lagi. Juga mengharap kemenangan negaranya demi martabat semua rakyat.
Kedua medis itu menempuh jarak sekitar satu kilometer. Mereka membawa Si selamat ke sebuah gedung balai desa yang dijadikan tempat perawatan prajurit yang terluka. Gedung itu tidak lagi memiliki daun pintu. Jendelanya pecah dan kaca-kacanya berserakan di bawahnya. Genting-genting rontok. Cat mengelupas. Lantainya kotor campuran tanah coklat dan merah darah.
Di teras mereka bertemu dengan Jip dan Leri yang merasa senang. Kedua medis itu berperawakan tinggi dan tegap. Memiliki otot-otot yang kuat. Dan mempunyai tampang yang rupawan.
"Sudah berapa yang kalian bawa?" tanya Jip dengan nada mengejek.
"Sudah banyak pokoknya," Brown menjawab asal-asalan kepada musuh bebuyutannya.
"Ya sudah, kami berangkat ke depan lagi mencari yang ke empat lima."
"Empat lima?" Migo bertanya tak percaya.
"Hei, cepat antarkan tentara itu!" suruh Leri. "Sepertinya dia sudah tidak bisa berbicara lagi. Kalian membunuhnya dengan bergerak lambat."
Dia dan Jip berlalu sambil tertawa keras.
Brown dan Migo masuk. Meletakkan Si selamat di atas hamparan tikar yang memanjang dari ujung ke ujung bersama dengan prajurit lain yang terluka. Di sana ada lebih dari seratus tentara yang memiliki masalah dengan tubuh. Mulai dari kehilangan jari jemari. Tangannya terputus. Kakinya perlu diamputasi. Juga yang paling tidak bisa ditolong lagi. Rumah itu seakan-akan menjadi tempat bagi siapa saja yang masuk untuk kembali keluar dengan tidak utuh.
Seorang perawat perempuan muda segera menghampirinya Si selamat. Menyuntikkan pereda nyeri dalam waktu hanya beberapa detik. Kemudian dia ditinggal pergi mengurus yang baru datang lagi.
Dua orang medis yang membawa Si selamat masih berdiri di dekatnya. Mereka berbagi anggur yang ada di dalam botol besi. Mereka mendapatkannya dari saku orang yang mereka bawa sebelumnya.
"Beruntung minuman ini tidak ikut dikubur," ujar Brown. Dia meneguk habis isinya.
"Apa kita masih harus kembali ke garis depan?"
"Kau ketakutan?"
"Maksudku, apa tidak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan selain harus kembali ke sana? Maksudku, apa kita harus berjalan jauh lagi? Apa kau tidak lelah, Bro?"
"Lebih baik tunggu sampai Jip dan Leri kembali. Kita tanya mereka seberapa jauh tentara kita mundur. Kalau cuma berkurang sedikit lebih baik kita tunggu sampai musuh mencapai tempat ini."
"Apa kau ingin kita semua dibantai?"
"Hei, apa kau ada pistol. Atau granat?" Brown berkata pada Si selamat. Dia menoleh ke arah rekannya, "Aku bisa menggunakannya. Sebelum masuk ke sini, aku masuk pelatihan militer. Dan aku beruntung tidak disuruh maju di garis depan."
Si selamat sedari tadi masih menahan rasa sakit. Ketakutannya memudar. Hanya rasa perih pada tubuh saja yang mengisi dirinya. Dia menunggu tindakan lebih lanjut dari perawat.
"Tolonglah aku!" Suaranya bergabung dengan suara yang berkata sama. Seluruh gedung itu diliputi teriakan, tangisan, kesakitan, kegilaan, dan keputusasaan.
"Jangan meminta tolong lagi," ujar Brown. "Kau bisa dengar kan, semua orang meminta hal yang sama? Tapi tidak ada yang bisa dilakukan dengan jumlah tenaga medis yang minim."
"Jangan salahkan kami jika kalian menderita," Migo menambahi. "Kami tidak memiliki keahlian apapun soal mengamputasi atau menyuntik. Menggotong kalian adalah tugas utama kami."
"Kami berjuang demi negara," Si selamat terbata-bata.
"Negara tidak menyediakan tempat penyembuhan sekejap. Hanya Tuhan yang bisa," kata Migo. "Sayangnya Tuhan tidak mau ikut campur dalam perang ini."
"Pereda nyeri lagi. Perban. Atau apapun yang kalian miliki, berikan padaku!"
Brown berkata, "Apa kau mengancam?"
"Jika perawat tadi hanya memberimu sedikit, kemungkinan sudah habis.
"Tahan saja. Semua ini tidak akan berlangsung selamanya."
Farras Pradana lahir pada 26 Mei 2001 di Lombok Timur, tumbuh besar dan bersekolah sejak TK hingga SMK di Kulon Progo
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)