Cincin ini akan kupersembahkan untuk Diva. Kala itu kami bertemu di bibir sungai Kapuas. Aku menemukannya sedang duduk di atas batu seukuran tubuhnya, dia bagai baru menetas dari sana. Diva duduk memunggungi hutan, semacam memunggungi kenangan yang paling pahit dalam hidupnya.
Mulanya aku takut mendekat. Karena pernah kudengar kabar, sekawanan orangutan menyerang seorang pegawai proyek sampai daun telinganya hilang sebelah. Namun sulit memastikan kebenaran kabar itu jika tidak melihat kejadiannya langsung. Rasanya tidak mungkin hewan seukuran pinggang bapakku itu menyerang manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan seperti yang kuduga, ia tidak menyerangku dengan kuku-kukunya yang panjang, apalagi merobek daun telingaku seperti kabar yang beredar. Aku berusaha duduk di sampingnya sambil menekan perasaan takutku. Kulihat ekor matanya memandangiku sebentar melalui aliran sungai yang memantulkan kami berdua. Aku menelan ludah. Aku tidak tahu apakah itu petanda baik atau sebaliknya. Aku mengulangi pertanyaanku padanya, "Kenapa kamu sendirian?"
***
Sekarang usiaku menginjak enam belas, hubunganku dengan Diva terawat sejak awal pertemuan kami lima tahun silam. Aku membawanya pulang, mengajaknya menjauh dari kesepian. Bapak pun tidak keberatan aku membawa seekor orangutan pulang ke rumah. Ditambah lagi, Bapak menyediakan satu kamar khusus agar Diva bisa tidur pulas. Bapak juga mau berbagi makanan dengannya.
"Makanan kita tidak akan habis. Tenang saja!" Kata Bapak saat itu riang. Dari Malaysia, Ibu selalu mengirim uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Bahkan uang yang dikirim Ibu bisa menghidupi kebutuhan dua kepala keluarga sekaligus.
Namun, alih-alih memberi pinjaman kepada tetangga yang membutuhkan, Bapak memilih menyimpannya untuk beternak babi, dan sisanya akan digunakan sebagai biaya perkawinanku kelak.
***
Pada sebuah pagi, Bapak mengajak kami pergi ke pasar. Di bagian paling belakang pasar, orang-orang saling berjual-beli ternak. Bapak membeli tiga ekor babi. Dua jantan dan satu betina. Bapak membelinya dari penjual babi yang memang dikenalnya sejak lama. Sebelum membeli babi, Bapak sering menanyakan ihwal peternakan pada kenalannya itu.
Sementara orang-orang sekitar memperhatikanku dengan wajah bangor. Dari sudut keramaian, sejumlah orang yang lain menyerbuku dengan pertanyaan, "Kamu lepas berapa ternakmu itu, Nak?" Mereka terus saja berkata begitu, dengan disusul gelak tawa yang membuatku ngeri. Sementara Diva masih menenggelamkan wajahnya di punggungku.
Aku kembali ke rumah tidak bersama bapak. Bapak terlalu sibuk mengobrol dengan penjual babi itu, dan orang-orang yang menimbrung mereka semakin bertambah banyak. Laiknya kawan lama yang jarang berjumpa dan telah dikumpulkan kembali oleh sebuah pembahasan penting.
Aku memilih melewati hutan yang mengarah langsung ke halaman belakang rumah. Meski jaraknya lebih jauh ketimbang melewati kampung, namun berjalan di hutan memberi kenikmatan tersendiri bagiku. Diva kuturunkan dari punggungku, lalu kami berjalan bersisian. Ia tampak lebih tenang dari sebelumnya.
Pada kesempatan itulah, aku menghadiahkan sebuah cincin kayu pada Diva. Aku meraih jari-jarinya, dan memasang cincin itu pada telunjuknya. "Jari telunjuk akan menjadi melati bagi mereka yang menggunakannya untuk kebajikan, dan akan menjadi belati bagi mereka yang melakukan hal sebaliknya," ucapku sembari memasangkan cincin ke jari Diva.
"Cincin ini terbuat dari cinta kasih, bahan yang sama juga digunakan oleh Tuhan saat merakit surga," aku terus berbicara meski Diva tidak menanggapi.
"Sebentar," kataku setelah mendengar suara mesin.
Diva kembali ke punggungku. Kami mengintip dari balik pepohonan dengan jarak yang tidak begitu jauh. Mesin-mesin itu membabat apapun yang tumbuh di hadapannya. Mesin-mesin itu menguarkan bunyi ribut dan asap kasap. Diva menenggelamkan wajahnya seperti saat di pasar.
Sesampai di rumah, Diva nampak masih ketakutan sejak melihat mesin-mesin di hutan tadi. Tubuhnya mengkerut di tempat tidur. Aku mau memberitahu Bapak supaya mengusir mesin-mesin itu dari dalam hutan kami. Suaranya bising. Asap-asap yang keluar dari mesin itu mengaburkan pandangan.
"Tadi babi itu tidak mengenakan kalung saat Bapak membelinya," kataku bertanya pada Bapak setelah sejumlah lonceng berukuran mungil yang digantungkan pada leher babi-babi itu menyita perhatianku.
"Bapak disuruh kawan Bapak supaya memakaikan benda ini. Konon suaranya bisa mendatangkan keberuntungan," Bapak menjawab sambil menggiring babi-babi itu ke kandang yang sudah dibuat Bapak sendiri.
"Bapak tahu kalau di hutan banyak mesin-mesin?'
"Mesin-mesin apa?"
"Mesin-mesin yang membabat habis tumbuhan di hadapannya. Bapak tahu?"
"Kenapa memangnya?"
"Kita harus mengusir mereka!"
Mata Bapak membelalak mendengar perkataanku.
"Jangan macam-macam kamu dengan mereka!"
"Jarang-jarang Bapak membentakku begini?"
"Aku membentakmu karena tindakan itu akan membahayakan kita."
"Apa berbahayanya mereka?"
"Mulutmu itu bisa dibeli!"
"Aku tidak akan menjual mulutku pada mereka!"
"Sudahlah! Kamu diam saja di rumah, bantu Bapak mengurus babi."
Seminggu sesudah percakapan itu, aku benar-benar menghabiskan waktu di rumah. Membantu Bapak mengurus babi.
Suara mesin-mesin itu semakin dekat dengan rumah kami, dan Diva semakin sering mengurung diri di kamar. Tubuhnya mengkerut di tempat tidur. Aku bawakan semangkuk susu tidak diminum. Aku petik sesisir pisang tidak dimakan. Dia juga malas keluar kamar walau hanya untuk sekadar berjalan-jalan.
"Bapak mau bawa Diva keluar nanti malam," kata Bapak padaku.
"Ada angin apa Bapak mau mengajak Diva?" tanyaku terheran-heran. Adapun bila bepergian, kami selalu bertiga, dan selalu aku yang mengajak Bapak duluan.
"Diva sudah Bapak anggap sebagai anak. Bukankah kita sudah menyepakati ini sejak awal?"
"Bukan. Bukan itu maksudku...."
"Bapak hanya pergi sebentar. Kamu jaga babi-babi di rumah. Bapak tahu, seminggu terakhir ini bukankah Diva memang sedang tidak dalam kondisi baik?"
"Iya. Dia sedang tidak dalam kondisi baik,"
"Bapak akan coba mencarikan obat untuknya. Bapak temui kawan-kawan Bapak yang paham permasalahan ini."
"Bapak mau membawanya ke mana?"
"Ke tempat yang akan membuatmu tidak perlu khawatir," kata bapak sambil berjalan ke kamar Diva. "Sudah, sudah sana kasih makan babi!" sergahnya kemudian padaku.
Sejujurnya aku tidak mau berburuk sangka terlalu jauh pada Bapak. Barangkali benar yang ia katakan, Diva berhak mendapat perhatian yang sama sepertiku. Perhatian dari seorang Bapak. Walau demikian, perasaanku tidak bisa tenang begitu saja.
Bapak berangkat selepas sore, dan belum kembali sampai pukul sembilan malam. Suara mesin-mesin di dalam hutan itu lenyap, tapi suara babi-babi ini sama ributnya. Aku duduk di teras depan rumah, menyelimuti tubuhku dengan sarung. Udara dingin sekali, kegelapan melumuri dinding langit sampai aku mengira hutan ini berwarna hitam seluruhnya. Sunyi membentang di sepanjang malam. Aku hampir tertidur ketika akhirnya mendengar suara lonceng berkeloneng mendesak masuk dari belakang rumah.
Bapak datang dengan menggendong Diva. Mereka pulang dari hutan. Tetapi Diva terlihat menjadi makhluk yang kelihatan lain, ia mengenakan gaun putih seperti pengantin baru, pewarna bibir yang terang, dan di lehernya sejumlah lonceng berukuran mungil melingkar seperti kalung. Aku tidak mampu berkata-kata, jantungku bagai terkerat.
"Diva menyukai semua hal yang terjadi malam ini," kata Bapak sambil menurunkan Diva dari gendongannya.
Diva berjalan memunggungi kami ke kamar tidurnya, semacam memunggungi kenangan yang paling pahit dalam hidupnya.
(Cerpen ini terinspirasi dari peristiwa yang terjadi pada 2003, seekor orangutan bernama Pony diselamatkan dari sebuah tempat lokalisasi dalam kondisi yang menyedihkan)
Robbyan Abel R lahir di Mataram, 5 Januari 1998. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Bergiat di komunitas Akarpohon Mataram
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































