Rhoda Grauer adalah penulis naskah yang mengadaptasinya. Dia juga bekerja sama dengan Robert Wilson. Ia dikenal sebagai sutradara asal Amerika dan ketiga yang terhebat di dunia.
Keduanya bekerja sama dengan Yayasan Bumi Purnati dari Bali mewujudkan pementasan 'I La Galigo' yang telah melanglang buana selama 20 tahun ke berbagai negara. Awal Juli mendatang, Ciputra Artpreneur dan Yayasan Bumi Purnati bakal memboyong 'I La Galigo' ke Jakarta.
Diwawancarai detikHOT, Rhoda Grauer yang berasal dari New York menceritakan rasa jatuh cinta terhadap 'Sureq Galigo' berasal dari riset terhadap komunitas bissu di Sulawesi Selatan.
"Saya heran kok tidak banyak orang Indonesia yang tahu apa itu 'Sureq Galigo' dan betapa pentingnya tradisi tersebut bagi negara Indonesia. Di Makassar ada nama Jalan Galigo dan Saweigading tapi nggak banyak yang tahu apa nama itu," tuturnya kepada detikHOT di Ciputra Artpreneur, beberapa waktu lalu.
![]() |
Saat pertunjukan 'I La Galigo' balik kampung ke Makassar, banyak masyarakat yang mengaku antusias tapi juga menimbulkan pro dan kontra.
"Mereka bilang kok harus orang asing yang buat. Saya bilang kenapa tidak kamu yang mulai saat itu," lanjutnya lagi.
Pementasan 'I La Galigo' juga diakui pemain teater Sri Qadariatin sebagai seni tradisi yang menginspirasi kontemporer.
"Ini berangkat dari seni tradisi yang kami (Indonesia) miliki dan membuat sesuatu yang berbeda (kontemporer). Menurut saya, pertunjukan 'I La Galigo ini asyik banget," tukas perempuan yang akrab disapa Uung dan bergabung dengan Teater Garasi asal Yogyakarta.
(tia/doc)