Perempuan-perempuan paruh baya mengenakan tapih dan kebaya beraneka corak dan rambut mereka digelung di belakang. Para lelaki mengendarai kereta angin, membawa kelapa, jagung, labu, serta ayam-ayam yang ribut bertali kakinya. Mereka saling menyapa dan tersenyum.
Di muka pasar itu mengalir sebuah sungai, ada tangga kecil dari batu-batu yang ditata menurun. Kelopak-kelopak flamboyan yang gugur terbawa arus ringan dan menyatu di sebuah bendungan, di bawah sana, seperti kumpulan kembang yang sengaja ditaburkan. Di atas sungai itu, sebuah jembatan kecil memanggul sebuah rel. Kereta Argo Geni melewatinya setiap pukul tujuh pagi dan lima sore, dari dan menuju Kota Utama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu ketika, saat usia ibuku masih belasan tahun, ia pernah berdiri di atas jembatan yang memanggul rel itu. Ia berdiri di sana begitu lama. Menatap keriuhan pasar. Bunga nusa indah yang ada di mana-mana. Kelopak-kelopak flamboyan yang terus berguguran ke permukaan sungai. Dua bunga yang seperti sengaja pamer adu kecantikan. Di atas atap-atap pasar itu, jauh di belakang, sebuah bukit biru kehijauan tak berhenti berkacak pinggang.
Ibu membayangkan dirinya mendaki bukit di kejauhan itu, lalu hidup di atas sana dengan ular-ular, ayam hutan, serangga-serangga, atau apa saja. Tapi, tidak jadi. Sebab itu sudah kadung berdiri di atas rel. Keinginannya sudah bulat. Ia ingin menjatuhkan tubuhnya ke arus sungai, dan lalu mati tenggelam. Tapi, ia ragu apakah terjun ke sungai bisa membuatnya mati. Lalu ibu memutuskan untuk menunggu sedikit lama, menunggu kereta lewat.
Kereta Argo Geni dengan kecepatan kilat tentu bisa membantunya mati dengan cepat. Kereta itu lewat pukul lima sore, dan beberapa menit sebelum pukul lima sore, orang-orang berteriak menyuruhnya menyingkir dari jalan kereta itu. Ibu hanya bergeming. Hingga seorang lelaki tiba-tiba muncul dari kerumunan, berlari tergopoh-gopoh ke arahnya, membopong tubuh kecilnya yang meronta-ronta sebab tak jadi mati. Lelaki itulah yang kemudian menjadi ayahku.
***
Samaria, kota kecil di kaki bukit itu, bukanlah kampung halaman ibuku. Ia tidak lahir di kota itu. Ia hanya dibawa seseorang ke kota itu untuk dijadikan babu dan semacamnya, lalu ditinggal pergi. Dan, ibu tak tahu jalan pulang sebab ia buta huruf, dan tak punya banyak keberanian untuk bercerita atau sekadar bertanya sedikit banyak tentang kampung halamannya pada orang lain.
Samaria adalah kota yang sangat indah, namun asing. Samaria adalah sebuah kota di mana mimpi-mimpi seorang gadis seharusnya bisa mekar dengan subur. Namun tidak, sebab ibu bukanlah siapa-siapa. Mimpi-mimpinya sebagai seorang gadis telah kering sebelum mekar. Hari-harinya terperangkap di kebun-kebun teh serta ladang kentang, di kandang-kandang kambing serta lereng-lereng sungai tempat semak pakan kambing tumbuh subur. Kadangkala tugas-tugas yang tak pernah habis itu mengantarnya ke toko-toko kelontong dan keriuhan pasar.
Mimpi-mimpi seorang gadis tak mungkin bisa mekar dalam keadaan seperti itu. Belum lagi kerinduan akan kampung halaman yang terus mengusik seperti rasa haus itu. Sebab itulah ibu ingin mati. Jalan pulang sudah buntu. Mimpi-mimpi sudah pupus. Dan, keputusan yang paling tepat adalah pergi mati. Sampai lelaki itu datang, berlari-lari kecil di atas rel jembatan, menyelamatkannya dari keputusasaan. Lelaki itu kemudian menikahinya. Dan, menjadi ayahku.
Usia ayahku dan usia ibuku terpaut tujuh belas tahun. Ibu bilang, sebenarnya ayahku pantas-pantas saja menjadi kakekku. Hanya saja, ayah punya ilmu awet muda atau yang semacamnya. Ia punya ketampanan, dan ia punya pesona. Ketika ayah dikuburkan karena penyakit paru-paru basah, ibu bilang usia ayah masih seperti usia seorang pemuda dua puluh lima tahunan. Ia mati dalam keadaan tersenyum, dan sangat tampan.
Setelah menikah dengan ayahku, rasa haus ibu akan kampung halaman menemukan celah cahaya. Ayah bekerja mengumpulkan uang, supaya ibu bisa kembali ke kampung halaman, dan ayah akan mengantarkannya sampai di tempat, bahkan di atas tanah, di atas tikar di mana ibu dulu dilahirkan. Namun, ketika uang itu terkumpul dan perjalanan panjang menuju kampung halaman seharusnya dimulai, ayah malah pergi dan tak kembali; ia tak jadi menepati janjinya.
Akhirnya, yang menemani ibu dalam perjalanan pulang adalah aku, seonggok janin berusia tiga bulan yang menggeliat dalam garbanya. Ibu bilang, ayah memang batal mengantarnya pulang, tapi ia sudah menitipkan ibu padaku, pada seonggok janin yang kuat. Sesampainya di kampung halaman, ibu menumpahkan begitu banyak penyesalan.
Samaria adalah sebuah kota kecil di kaki bukit di mana ayah dikuburkan. Bermil-mil jauhnya dari kampung halaman ibu. Ketika aku tumbuh, ibu kerap bercerita tentang Samaraia, sebuah kota kecil di kaki bukit. Dengan sebuah pasar, bunga nusa indah dan flamboyan, sebuah sungai, serta rel kereta di atasnya. Cerita itu melekat rapat dalam kepalaku, namun pada satu titik kecil, aku kerap bertanya-tanya: apakah Samaria, kota itu, benar-benar ada?
Orang-orang bilang, sewaktu kecil, seorang bibi jauh memang pergi membawa ibu, ke sebuah kota yang ada di Jawa Tengah, di lereng Gunung Dieng, dan kota itu bukanlah Samaria. Tak ada kota bernama Samaria di sana. Berkali-kali aku ingin pergi mengunjungi kota itu, berziarah ke makam ayah, tapi ibu tak pernah mengizinkan.
Apakah ibu yakin, kota itu bernama Samaria? Bukahkah ibu tidak bisa membaca, ataukah nama Samaria itu sebuah ucapan yang muncul dari salah dengar atau semacamnya? Dan, ibu bersikeras bahwa kota itu memang benar-benar ada, bernama Samaria, sebuah kota kecil di kaki bukit. Kota yang indah, namun asing.
Maka, ketika tahun-tahun berlalu dan tahun penuh duka itu datang, lalu membawa tubuh ibu yang renta pergi dari muka bumi, aku benar-benar bertekad pergi untuk menemukan Samaria. Benarkah ada seorang lelaki-yang darah dagingnya menjelma jadi tubuhku-yang dikubur di sana? Ataukah semua yang diceritakan ibu itu cuma karangan belaka? Sebab ibu tak meninggalkan jejak apapun tentang Samaria, kecuali hanya cerita yang ia tuturkan dari mulut, dan dengan mulut yang selalu gemetar.
Jika ia memang pernah menikah dengan seorang lelaki yang menyelamatkannya di sebuah rel kereta, seharusnya ada bukti semacam surat nikah, foto, dokumen-dokumen entah, atau apapun. Namun tidak, tak ada sesuatu yang tersisa dari ibu yang menunjukkan bahwa kota bernama Samaria memang benar-benar ada.
Saat perjalanan itu kumulai, aku berkata pada diriku sendiri bahwa mungkin aku pergi bukanlah untuk menemukan Samaria. Aku hanya pergi untuk berziarah ke makam ayah-yang entah ada di mana. Orang-orang berkata tanpa keyakinan bahwa pada masa lalu, seseorang pernah membawa ibu menuju sebuah kota di lereng Gunung Dieng. Di lereng Gunung Dieng. Hanya itu.
Apakah kota itu tak bernama? Kota itu memang punya nama, tapi bukan Samaria. Begitulah ujaran para kerabat ibu. Kami semua tak pernah sekolah. Dan, kami semua susah cari makan. Kami sibuk menyambung hidup. Jadi, buat apa kami pusing-pusing memikirkan nama kota yang entah ada di mana? Tentu saja. Seseorang yang selalu sibuk menyambung hidup, kesusahan mencari makan, bukahlah seorang pemelihara kenangan yang baik. Ada banyak ingatan yang hilang dan tak terawat dari kepala mereka. Aku memaklumi itu.
Maka, aku berangkat mencari sebuah kota yang ada di lereng Gunung Dieng. Perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Tahun demi tahun beranjak. Semua yang dikatakan ibu tak pernah kutemukan jejaknya. Tak ada kereta bernama Argo Geni di wilayah itu atau di wilayah mana pun. Sebagaimana tak ada kota bernama Samaria di dalam peta. Dan, semua yang kulakukan ini mulai kuyakini sebagai sesuatu yang sia-sia, seperti menelusuri sebiji kerikil yang ditandai, yang telah di lempar ke dasar sungai berarus deras, puluhan tahun lepas.
Di beberapa tempat, aku memang menemukan bunga-bunga nusa indah yang menaungi teras-teras rumah, juga pokok-pokok flamboyan yang berjajar di tepi jalan. Tapi, tempat itu bukanlah Samaria sebab tak ada bukit di sana. Lagi pula, bukankah bunga-bunga dan pokok-pokok seperti itu bisa tumbuh dan mekar di mana saja?
Samaria, kota kecil di kaki bukit. Rasanya kota itu hanya ada dalam kepala ibu, lalu dititiskan ke dalam kepalaku. Dan, setelah jasad ibu dikuburkan, kota itu rasanya semakin hidup. Dalam kepalaku. Hanya dalam kepalaku.
Malang, 2018
Mashdar Zainal lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran (2018). Kini bermukim di Malang
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































