"Andeng"

Cerita Pendek

"Andeng"

Ardani H.K - detikHot
Sabtu, 10 Nov 2018 09:54 WIB
Andeng
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Kusampaikan padamu kisah seorang lelaki yang dicap tak waras usai bertemu andeng. Kalau kau mau menyebut andeng, sebutlah huruf 'e' seperti kau melafalkan kata 'kelapa'. Lelaki paruh baya itu selalu duduk di sudut tanah lapang. Setiap petang, ia mengamati para kuli yang pulang dari gudang. Semenjak ditelan andeng, Matrawi seperti orang linglung. Kadang ketawa sendiri, lebih sering mencak-mencak sambil menunjuk langit. Padahal, bagiku andeng sangat indah. Sama seperti pelangi lainnya yang memiliki tujuh warna.

Sayangnya, orang-orang di kampung percaya bahwa andeng bukan fenomena alam semata. Kedatangan pelangi itu sangat sakral. Matrawi buktinya. Lelaki yang tak sengaja menemukan ujung andeng di sumber air di tengah rerimbun bambu itu langsung hilang semalaman. Baru ditemukan keesokan pagi, usai digelar doa selamat. Sungguh, andeng sepertinya benar-benar menakutkan. Sumber air yang menjadi ujung andeng langsung kering dan tak berair. Katanya, andeng meminum dan menguras habis mata air itu.

"Kau tak lihat matahari itu? Panas yang disertai hujan akan mendatangkan andeng," Mamak selalu berhasil menahan keinginanku bermain air hujan. "Bisa-bisa kau gila seperti Matrawi," imbuhnya lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudahlah, Bu. Biarkan Ehar bermain sebentar. Sedari dulu Ibu larang Ehar mandi air hujan."

"Bapak ini bagaimana? Bapak mau Ehar tak waras gara-gara ditelan andeng? Bapak sama anak sama saja. Sama-sama bebal."

Bapak tak seperti Mamak. Baginya, masa kecilku harus berkesan. Termasuk bermain di bawah guyuran hujan. Anak lelaki seusiaku biasanya akan bermain bola di tanah lapang. Tentu, jika andeng datang, mereka bakal pulang. Tetapi, Mamak tak begitu. Ada tidaknya andeng usai hujan, aku tetap dilarang bermain. Berjaga-jaga, katanya.

"Apa Matrawi benar-benar gila, Pak?" tanyaku usai melihat Mamak beranjak ke dapur.

"Kenapa kau tak coba dekati saja. Bapak juga tak tahu, dia benar-benar gila atau tidak."

"Kalau Mamak marah?"

"Ada Bapak yang bakal menolongmu."

Aku tersenyum. Begitulah. Bapak selalu bisa diandalkan. Hal-hal yang sekiranya mustahil seakan mudah dan gampang di hadapan Bapak. Dan, semenjak siang itu aku memberanikan diri mendekati sekaligus mengamati Matrawi.

Sebenarnya, aku agak takut saat melihat Matrawi duduk dengan muka masam. Apalagi saat alisnya menyatu, lalu disusul komat-kamit tak jelas. Beruntung kalau hanya bicara ngelantur, kadang dia mengambil kerikil lalu mengitari tanah lapang sambil menaburi kerikil-kerikil tadi. Dan, tak jarang melempari halaman orang dengan kerikil tersebut. Tentu, si empunya rumah bakal mengambil sapu, memegang gagangnya, berupaya menakut-nakuti Matrawi, padahal sebenarnya mereka takut jika lelaki itu benar-benar ngamuk.

Aku yang kebingungan mendekati Matrawi akhirnya melihat peluang. Matrawi gemar mengumpulkan reranting. Dia menggunakan reranting itu sebagai bahan bakar tungku. Jangan salah, lelaki ini gemar minum kopi. Entah dari mana dia mendapatkan bungkusan kopi instan itu. Dia sangat terampil mendidihkan air hanya menggunakan kaleng bekas sebagai wadah. Tetapi, dasar tak waras, aku yang susah payah mengumpulkan reranting lalu kuberikan ke Matrawi, dia tak mau nerima. Berkali-kali kucoba, dia tetap bergeming. Salah-salah, malah melototiku. Aku pun tak mau kalah, kupelototi balik. Dan, semenjak saling melototi itu dia mau menerima reranting yang kuberi.

"Kalau ada angin kencang, jangan membakar tungku, Wi. Nanti warung Miryah terbakar," ujarku usai menjulurkan reranting. Matrawi tak menggubris. Ia tetap mengambil reranting, dan memasukkannya ke tungku yang dibuat dari susunan batu bata.

"Kalau warung ini terbakar, bisa-bisa kita diamuk," sambungku lagi. Namun, Matrawi tetap menunggu air mendidih, lalu menuangkan sebungkus kopi ke gelas plastik bekas air kemasan. Setelah air mendidih --sebetulnya tak kulihat air itu menggelembung-- dia menuangkannya ke gelas itu. Menyeduhnya beberapa kali, lalu disodorkan tepat ke arahku. Aku yang tak menyangka pemberian Matrawi, terdiam. Lelaki itu tetap menjulurkan segelas kopi. Cepat-cepat kuambil, lalu berlari pulang.

"Tak tahukah kau kalau orang-orang menganggapmu gila seperti Matrawi? Berhentilah, Har menemui lelaki itu!" belum kupamerkan kopi pemberian Matrawi, Mamak menghadangku dengan amuk marah.

"Kalau kau tak mendengar ucapan Mamakmu ini, jangan harap kau dapat uang saku."

"Aku tak gila, Mak. Lagipula aku hanya memberinya reranting."

"Sama saja. Mulai sekarang, kau tak boleh ke tanah lapang."

"Kalau main bola?"

"Tak boleh. Kau tak boleh ke sana apapun tujuanmu," ucapnya lantang, lalu pergi ke belakang.

Mamak benar-benar menjadi momok menakutkan. Bisa-bisanya melarangku pergi ke tanah lapang kendati untuk bermain bola. Sepertinya, Mamak yang bebal. Bukan aku, apalagi Bapak.

"Apa yang kau bawa?" tanya Bapak usai berjalan mengendap-endap.

Ah, ini dia pahlawanku. Kopi yang kusembunyikan di belakang tangan, segera kuberikan ke Bapak.

"Benarkah Matrawi yang memberi kopi ini?" mata Bapak berbinar. Seakan-akan kopi itu seperti permata yang baru ditemukan.

Aku mengangguk. "Tapi, Matrawi tak pernah bicara, Pak."

"Tak apa. Suatu hari nanti dia pasti bercakap denganmu."

"Tapi, aku dicap gila, Pak."

Bapak menaruh kopi di atas meja, lalu berjongkok di depanku.

"Aku bapakmu. Dan, kau anakku. Aku tak pernah menganggapmu gila. Lantas, apa lagi yang perlu kau takutkan? Sedangkan mereka bukan siapa-siapa."

"Tapi, Mamak pasti marah, Pak."

"Urusan Mamak serahkan pada Bapak saja."

Lihatlah. Betapa bapakku selalu bisa membuatku nyaman. Aku tak lagi khawatir akan isu yang berkembang. Biarkan saja orang-orang menganggapku gila. Toh, aku hanya ingin berteman dengan Matrawi. Kendati dia tak waras, Matrawi juga manusia. Sama seperti aku denganmu.

Sayangnya, semakin aku sering menemui Matrawi, isu itu semakin santer. Bahkan, teman-teman sekelasku sengaja membuat lagu dengan judul "Ehar yang Gila". Beruntung Matrawi tetap mau berteman. Begitu pula dengan Bapak yang membiarkan sesuka hati agar aku ke tanah lapang. Sayangnya, Mamak yang tak kuat mendengar isu orang-orang, datang sambil memegang gagang sapu.

"Harus berapa kali kukatakan padamu, Har? Jangan pernah ke sini!" Mamak tak lagi marah, tetapi dia sudah mengamuk di hadapanku. Padahal di samping ada Matrawi yang sedari tadi mengoceh ke langit.

"Cepat pulang atau aku seret!"

Tentu aku tak mau diseret. Dengan muka bersungut kupungut sandal, lalu beranjak pulang. Tetapi, untuk pertama kalinya Matrawi memengang tanganku dan menahanku pergi.

"Nanti selepas Isya, katakan pada orang-orang agar berkumpul di tanah ini. Bakal ada bahaya."

Aku tak mengerti maksud Matrawi, tetapi demi menghormati perbuatannya yang baru pertama kali bicara, aku iyakan saja. Lalu, cepat-cepat menemui Mamak yang melotot lebar. Sesampainya di rumah, kukatakan pada Mamak dan Bapak perihal yang diucapkan Matrawi. Dan, seperti yang kau tebak, Mamak langsung berkacak pinggang.

"Kau sudah benar-benar tak waras. Aku harus menggelar slametan agar kau tak ikut gila seperti Matrawi."

Tak kusanggah ucapan Mamak. Aku keburu pergi ke rumah Wak Dar. Kusampaikan pada ketua kampung itu tentang bahaya nanti malam. Tetapi, lelaki tua itu malah menertawaiku.

"Apa yang bisa dipercaya dari anak kecil sepertimu, Har? Bahkan kau mendapati isu itu dari Matrawi yang gila. Tak satu pun yang bakal mempercayaimu."

Aku tak putus asa. Kukatakan pada kawan-kawan sekelas, tetapi mereka juga menertawaiku. Kusampaikan pada banyak tetangga, mereka juga mengataiku gila. Mereka benar-benar membuatku putus asa. Ditambah Mamak yang menjewer telingaku sampai ke rumah. Padahal azan Magrib sedari tadi berkumandang.

"Jangan salahkan aku kalau kau kuikat di kandang," ujar Mamak geram.

Belum sempat Mamak mengikat, Bapak menolongku. Dia merebut tali tersebut dan justru berusaha mengikat tangan Mamak. Lalu, menyeretnya keluar menuju tanah lapang. Orang-orang melihat adegan itu. Bahkan, mereka mengeluarkan sumpah serapah jikalau aku dan Bapak sudah gila. Biarkan saja. Biarkan mereka seperti itu.

Sambil menunggu azan Isya, kulihat Matrawi berlari mengelilingi tanah lapang sambil menaburi kerikil. Mulutnya tak berhenti komat-kamit sambil menengadah ke atas langit. Aku dan Bapak berusaha mendiamkan Mamak yang menyumpahi kami berdua. Beruntung sumpah Mamak hanya sekadar mengikat kami di kandang, bukan minta cerai.

Tiba-tiba, azan Isya berkumandang. Orang-orang yang seliweran pergi ke masjid menertawakan kami yang berada di pinggir lapang. Begitu pula dengan mereka yang pergi ke pentas dangdut yang diselenggarakan di halaman Wak Dar. Mengecap kami tak waras. Aku tak peduli. Aku dan Bapak ketar-ketir menunggu bahaya yang dimaksud Matrawi. Lelaki itu menyuruh kami ke tengah lapang. Meski meragukan nasihat Matrawi, aku tetap berjalan.

Benar saja. Belum sampai ke tengah lapang, bumi yang kuinjak terasa bergoyang. Sangat keras dan bergetar hebat. Kami berteriak menyebut nama Ilahi. Begitu pula dengan orang-orang yang di masjid dan di pagelaran dangdut. Berteriak sambil berlari. Tetapi, rumah, masjid, dan bangunan lainnya keburu roboh akibat gempa. Pepohonan tumbang menimpa orang-orang. Hanya keluargaku yang selamat. Ditambah Matrawi yang konon memiliki ilmu langit, usai ditelan andeng sehari sebelum ditinggal mati anak dan istri.

Ardani H.K adalah nama pena yang dipilih penulis. Saat ini bertempat tinggal di Jember, Jawa Timur

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads