Festival Bebas Batas baru saja dibuka semalam di Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang diresmikan oleh Direktur Kesenian Kemendikbud, Restu Gunawan. Di pameran utama 'Pokok di Ambang Batas' ada 35 karya hasil seleksi open call, 10 seniman undangan, karya koleksi Borderless Art Museum No-Ma Jepang, dan karya dari hasil workshop 5 RSJ di Indonesia.
Berbicara mengenai seni dan disabilitas di Indonesia kerap masih mendapatkan 'label' maupun stereotip tertentu. Festival Bebas Batas pun mencoba untuk mengubah persepsi tersebut.
"Orang-orang melihat teman-teman disabilitas karena tangan atau kaki cuma satu, ada yang gangguan kejiwaan. Dengan pameran ini gue berharap masyarakat sudah tidak lagi memikirkan label mereka dan pure mengapresiasi karya seninya," ujar Hana Madness, founder Art Brut, yang turut mendukung penyelenggaraan Festival Bebas Batas saat ditemui detikHOT, Jumat (12/10/2018) malam.
Di tahun 2016, seniman yang pernah didiagnosa gangguan bipolar dan skizofrenia pernah mengikuti Unlimited Festival di London. Festival seni dan disabilitas yang digelar dua tahunan di Inggris itu mengajak seniman-seniman penyandang disabilitas/difabilitas untuk berkolaborasi bersama.
"Harapannya Festival Bebas Batas akan seperti itu, dan aku merasa ini menjadi gerbang utama untuk festival seni dan disabilitas lainnya di Indonesia. Mungkin kami belum sampai seperti Unlimited Festival di London, tapi kayaknya Bebas Batas bakal roadshow ke beberapa kota," lanjutnya.
![]() |
Karya-karya para seniman di pameran utama, diakui kurator Sudjud Dartanto, punya beragam ekspresi. "Karya-karyanya melampaui batas, dalam arti yang sifatnya struktural. Kita melihat ada banyak ekspresi, simbol yang cukup kuat, spontan, dan lugas. Karya-karyanya itu sendiri beyond borders," tutur Sudjud.
Ia mencontohkan dua lukisan Edo Adityo asal Madiun yang berjudul 'Monalisa Angel' dan 'Seribu Malaikat'. "Keluarga di lingkungannya menyebut Edo adalah indigo, kalau menurut medis adalah skizofrenia. Tapi betul dia melihat malaikat apa yang digambar benar yang dilihat. Figur-figur Hana Madness juga bentuk yang memang dia lihat dalam imajinasinya," katanya.
Lukisan lainnya yang dipamerkan juga berasal dari berbagai RSJ, salah satunya dari Solo. Ada satu lukisan bergambar gunung, bulan berwarna merah, dan ada satu batu di tengahnya. Sekilas lukisannya menggambarkan simbol tertentu, namun menurut Hana yang menjadi mentor bagi pelukisnya, itu adalah kuaci dan bukan batu.
"Saat ditanya, itu batu apa, dia bilang kuaci. Nggak tahu kenapa kuaci, tapi mungkin persepsi kita yang melihatnya harus diubah," tukasnya.
Bagi Anda yang berada di kawasan sekitar Gambir, singgahlah melihat karya-karya di pameran utama di Festival Bebas Batas. Eksibisi dibuka untuk umum mulai hari ini sampai 29 Oktober 2018 di Gedung B, C, D Galeri Nasional Indonesia.
Tonton juga video Kemendikbud Pamerkan Hasil Karya Seni Pasien RSJ
(tia/dal)