Di belakangku, seorang kekasih βsebetulnya ia tidak benar-benar sebagai kekasihku lagi sebab dua bulan lalu hubungan kami telah berakhir dan ia sudah menemukan pacar baruβ belum terbangun dari tidurnya hingga pukul enam.
Kereta api itu sudah lima belas menit berlalu. Namun, aku masih memikirkannya. Rentetan gerbong yang bergerak dan hilang dalam waktu cepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ah, deretan gerbong kereta itu kembali melintas di depan mataku dan aku melihat hati kekasihku duduk di bangku dengan warnanya βwarna hati ituβ yang agak pucat. Ia tidak tampak mencolok dan aku memastikan hanya aku sendiri yang melihatnya. Ia menyembunyikan rasa tidak sabarannya. Semua orang yang tengah kasmaran pasti begitu.
Tentu saja aku tak perlu cemburu. Ia akan bertemu perempuan itu dan ia menggebu. Nanti akan tiba saatnya βitu sangat mungkin terjadiβ ia juga akan berada di dekat jendela seperti yang kulakukan sekarang ini dan memandangi hati mantan kekasihnya duduk di sebuah gerbong kereta untuk menemui pacar barunya.
Kau akan tahu rasanya, pikirku tanpa sadar tersenyum licik.
Mendadak hati kekasihku menoleh ke arah jendela tempat aku berada dan mata kami saling beradu.
Hai, aku melambaikan tangan kaku. Hati kekasihku tidak membalas, melainkan hanya melayangkan pandangan muram.
Jangan muram begitu, aku berteriak dan menggeleng-gelengkan kepala. Setiap cinta ada batas waktunya, teriakku lagi. Aku sungguh tidak apa-apa.
Kemudian gerbong kereta yang membawa kekasihku itu berlalu begitu saja. Aku melihat rel yang sudah kosong melalui celah gedung satu dengan yang lain di depanku. Aku menoleh ke belakang, kekasihku masih tidur. Mulutnya tidak lagi terbuka dan ia tidur lebih tenang.
Aku layangkan lagi pandang ke luar jendela. Mobil-mobil semakin padat. Beberapa buah bemo melintas, tanpa penumpang. Pejalan kaki melangkah tergesa. Seorang ibu membantu anaknya turun dari taksi. Pohon-pohon. Tiang listrik. Seorang laki-laki dan perempuan pegangan tangan saat menyeberang jalan.
Dan gerbong itu melintas kembali dalam pikiranku. Aku mau menolaknya. Aku lelah memikirkan gerbong itu terus-terusan. Cepat kuambil novel Vegetarian karya Han Kang. Aku harus membaca, pikirku. Aku harus menolak kehadiran gerbong itu dalam kepalaku dan menggantinya dengan sosok Yeong Hye yang tubuh telanjangnya dilukisi sebentuk dedaunan dan bunga-bunga. Aku ingin sekali telanjang seperti Yeong Hye. Aku ingin di tubuhku juga dilukis bunga dan tumbuhan dan aku akan bercinta dengan pelukisnya.
Namun, gerbong itu lagi-lagi melintas, bahkan di saat aku sedang penuh konsentrasi akan memasuki bab Pohon Kembang Api. Apa yang dilakukan gerbong itu sudah keterlaluan, pekikku tiba-tiba. Gerbong itu sudah sama menyebalkannya dengan tagihan-tagihan yang menghantuiku jelang jatuh tempo atau agen asuransi sebuah bank yang menelepon dan menelepon demi menawarkan produk terbarunya, tidak peduli pengakuan bohongku bahwa aku sudah memiliki sejumlah polis dan ia tetap saja menganggap aku masih perlu membeli sesuatu darinya.
Gerbong sialan! teriakku.
Hati kekasihku yang masih duduk di sana menatapku tidak percaya. Ia memang belum pernah mendengarku mengumpat dengan kata-kata kasar βdan melengking. Ia mungkin juga akan kaget jika kukatakan aku ingin sekali tubuhku dilukisi bunga dan tumbuhan dan lukisan itu akan kubiarkan benar-benar hidup dan berkembang biak di kulitku dan aku juga dapat bonus menyenangkan, yaitu bercinta dengan pelukisnya. Ide itu sama sekali tidak buruk, tapi memang terdengar liar dan ia yang terbiasa berkata, 'itu bukan kamu' untuk membendung keinginan-keinginanku, pasti menganggapku agak gila karena patah hati.
Kenapa? Apa aku salah? tantangku beringas. Kamu juga sialan, tahu! Pergi kalian semua! Gerbong itu malah berhenti. Terdengar deraknya yang mendadak. Mesinnya lalu mati sama sekali. Hati kekasihku tetap memandang ke arahku dan tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi terhadap gerbong yang ia tumpangi. Aku tidak bisa memastikan apakah mata kekasihku itu terlihat marah atau sedih. Mau marah atau sedih sama sekali tidak ada urusannya denganku.
Aku memejamkan mataku. Novel Vegetarian lepas begitu saja dari tanganku. Lalu aku membalikkan badan. Kupandangi kekasihku yang masih tidur di antara bantal dan selimut yang berantakan. Aku harus segera pergi, pikirku. Aku tidak bisa memperpanjang waktu, tinggal berdua di dalam kamar hotel bersama kekasih yang hatinya sudah berada di gerbong kereta di luar sana.
Aku berdiri dan mulai mengemasi barang-barangku. Pakaian yang berserakan di lantai, buku-buku di meja, tas make-up, notebook. Semua kejejalkan ke dalam koper mini dengan terburu-buru. Aku memang benar-benar tidak bisa memperpanjang waktuku lagi di sini. Maka segera kulilitkan syal di leherku. Aku siap untuk kabur. Kekasihku itu mungkin saja sedang bermimpi tengah berada di gerbong kereta, lalu turun di stasiun, dan melanjutkan perjalanan ke bandara, dan tidak sabar bertemu perempuan barunya. Aku tertawa. Aku tertawa sekali lagi sebelum mendadak berhenti karena kulihat di bagian dada kekasihku itu keluar darah. Aku melesat ke arah jendela lagi.
Gerbong kereta itu masih di sana. Begitu juga hati kekasihku yang kini tampak lebih merah. Aku melesat kembali ke tempat kekasihku terbaring. Dada itu semakin banyak mengeluarkan darah. Aku ingin sekali menjenguk ke dalam dada itu dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, aku justru memutuskan hal berbeda. Aku memilih lebih baik lekas pergi, biar petugas hotel saja yang mengurusnya nanti.
Aku berjalan keluar seolah tidak ada yang terjadi di dalam kamar hotel yang sudah kutinggalkan itu. Gerbong kereta masih di tempatnya. Aku mulai berpikir, sebenarnya mesin kereta itu tidak rusak, melainkan sengaja berhenti untuk menungguku. Aku bergegas ke sana. Kupilih gerbong tempat hati kekasihku duduk. Dan ia memang tetap di sana dan terus memandang ke arah jendela sebuah hotel. Ia tidak menyadari kehadiranku yang kini duduk tepat di sisinya.
Hai, sapaku mencoba berbasa-basi. Kami boleh saja sudah bubar sebagai sepasang kekasih dan menjadi dua orang asing di kereta ini, tapi sebuah sapaan singkat cukup diperlukan untuk memastikan bahwa ia atau aku tidak sendirian di sini.
Ia menoleh sejenak dan sepertinya tidak mengenaliku lagi dan kembali memandang ke arah jendela hotel seakan-akan ia tidak ingin kehilangan sesuatu di sana.
Aku ikut-ikutan memandang ke jendela kamar di sebuah hotel itu. Seorang perempuan duduk di balik kaca jendela itu dan tampak berusaha keras membaca sebuah buku. Perempuan itu mengenakan gaun tanpa lengan bergambar bunga-bunga ukuran besar warna merah muda. Sepertinya perempuan itu sedang berusaha ingin lari dari sesuatu dan ia kesal karena merasa gagal. Ia tutup buku itu dengan gerakan kasar. Ia membalas pandangan kami tajam-tajam.
Apa yang kalian inginkan? Kalian sengaja ingin mengganggu dan menghancurkan kepalaku ya? teriaknya sambil bangkit dari tempat duduknya.
Aku merasa takjub atas perempuan itu yang, tak lain, adalah diriku sendiri. Ia seperti sekuntum bunga raksasa yang tiba-tiba bangkit dari dalam tanah. Dari dalam mulutnya keluar akar-akar liar. Dan akar itu terus menjulur-julur seakan ingin menjangkau kami yang berada di gerbong kereta. Kalau saja kami disambar oleh akar-akar itu, maka kami pasti akan ditariknya dan ditelan bulat-bulat.
Hati kekasihku tetap diam. Ia tidak bereaksi dan hanya memandang saja. Aku mulai kesal kepadanya. Dasar tidak tidak peka, umpatku. Perempuan di balik kaca jendela sudah kembali duduk. Mulutnya sudah seperti biasa. Kecil dan manis. Ia menarik napasnya dan tersenyum seakan ia baru saja kembali bermetamorfosis menjadi bocah tumbuhan yang kalem.
Aku hampir saja melepaskan pandanganku darinya dan mulai sepenuhnya mau memikirkan perjalanan yang akan kulakukan, saat seseorang βkekasihku ituβ berdiri di belakang perempuan yang duduk di balik jendela. Hal pertama yang kuperhatikan, melihat lekat-lekat ke dadanya.
Dada itu kini berlubang βtepatnya bolong. Aku bahkan bisa melihat lukisan tanaman yang tergantung di dinding di belakangnya dengan daun-daunnya yang sangat lebar melalui lubang besar di dada lelaki itu. Sebelum aku sempat mengedipkan mata, perempuan yang duduk di balik jendela itu serta merta melayang, dan tak menunggu lama kepalanya menerobos masuk ke lubang dada lelaki itu βaku sungguh melihat dua kaki perempuan itu bergerak-gerak bebas di udaraβ lalu ia meluncur lurus-lurus, hingga terlempar ke dalam sebuah lukisan tanaman berdaun lebar.
Di gerbong kereta, aku dan hati kekasihku menguap, lalu perlahan hilang.
JBP, 2017
Yetti A.KA buku kumpulan cerpen terbarunya Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































