Seorang pria parlente bernama Wan Habib atau Abubakar Bafagih yang dikenal sebagai pimpinan Kelompok Sandiwara 'Opera Valencia' datang menemui keluarga Tjitjih. Dia menjanjikan akan menjaga Tjitjih.
Tjitjih pun dibawa pergi pria Arab-Indonesia kelahiran Bangil (Jawa Timur) untuk pentas antar kota. Keahlian Tjitjih pun semakin bagus dan membuatnya makin dikenal sebagai 'primadona' serta mulai dipanggil 'Miss' di zaman itu. Di masa itu pula, kompeni Belanda kerap melakukan razia antar kampung, mencari prajurit penggerak kemerdekaan bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ingin bangsa ini merdeka dari penjajahan. Sudilah beberapa hari lagi, kami ikut rombongan kelompok sandiwara ini," ujar salah seorang prajurit.
![]() |
Usai peristiwa itu, Wan Habib memutuskan hijrah ke Batavia dan membangun pertunjukan bersama kelompok sandiwaranya. Menetap di tanah kosong sebelah Bioskop REK, Kramat Munde Senen, nama mereka makin tenar hingga diundang ke Istana Bogor.
Ketenaran tak bertahan lama dari Tjitjih. Pada 27 Agustus 1936 silam, ketika menari di atas panggung Tjitjih meninggal dunia. Kala itu, dia berperan sebagaiSulastri dalam pentas 'Gagak Solo'. Kematian Tjitjih membawa duka mendalam bagi Wan Habib. Dia pun mengganti nama kelompok sandiwaranya menjadi Miss Tjitjih.
Hingga berusia 89 tahun, Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih masih melestarikan seni tradisi dan mempopulerkannya ke generasi muda. Di akhir pertunjukan 'Napak Tilas Sri Panggung' yang berdurasi hampir dua jam itu ada sebuah kejutan.
![]() |
Di tengah hutan, sosok perempuan tampak menggendong bayinya. Dia menangis seorang diri dan memutuskan mengakhiri hidup dengan gantung diri. Sepasang suami istri tak sengaja lewat dan mendapati peristiwa janggal tersebut. Lebih kagetnya lagi, hantu-hantu mulai beterbangan disambut suara petir yang menggelegar.
Lakon fenomenal 'Kuntilanak Waru Doyong' merupakan cerita fenomenal Miss Tjitjih itu menjadi penutup mengejutkan sekaligus mengundang decak kagum. "Ini jadi penutup yang bagus bagi pementasan Miss Tjitjih malam ini," ujar sutradara Imas Darsih, ditemui di Graha Bakti Budaya (GBB), kompleks TIM, Jakarta Pusat, Rabu (26/4/2017).
Pentas tanpa naskah itu menceritakan perjalanan Miss Tjitjih dengan kelompok sandiwaranya. Perjuangan diva panggung itu, lanjut Imas, bukan melenceng dari tradisi karena menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Sunda. "Ini supaya anak muda ada yang nonton."
Di tengah arus globalisasi dan generasi milineal, Miss Tjitjih tegak berdiri menatap masa depan.
"Miss Tjitjih tidak akan punah, walaupun tahun ini tidak dapat subsidi Dana Hibah dan tidak ada jadwal pentas. Generasi Miss Tjitjih akan terus ada," pungkas Imas yang mengaku sampai saat ini sudah ada empat generasi Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih.
(tia/mah)