Ditemui di sela-sela pementasan 'Balabala' di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Eko menceritakan kronologi penggarapan karyanya tersebut.
"Di tahun 2012, saya diminta sama Bupati untuk menggarap Festival Teluk Jailolo, saya bilang saya butuh riset selama setahun, saya merasa takut dibilang orang Jawa sok tahu dan menggurui," ujarnya, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko pun mendatangi berbagai suku yang ada di Halmahera Barat dan menonton setiap pertunjukan yang dipentaskan para tetua. Serta, pementasan di setiap festival yang diselenggarakan di kota tersebut.
"Akhirnya saya membuat musikal untuk SMP dan SMA se-Jailolo, ada 600-an anak lalu seleksi lagi jadi 450 anak," tuturnya.
Dari pengamatan Eko, setiap tarian yang ada di Halmahera Barat mewakili setiap suku yang ada. "Saya mau semuanya blend jadi satu, akhirnya ada tarian yang dipentaskan di atas rumah, saya rekonstruksi jadi dinamis," lanjut dia.
Di tahap awal, tarian bernama 'Cry Jailolo' berhasil memukau penonton di banyak negara. Dan, akhir pekan lalu, 'Balabala' digelar sebagai "world premiere" di Salihara International Performing-arts (SIPFest) Festival 2016, Jakarta. Usai di Salihara, sepanjang 2017 Eko bersama lima penari akan mementaskan 'Balabala' ke banyak negara.
Di samping mengajar dan menciptakan karya tari, Eko juga mendirikan Yayasan EkosDance untuk mewujudkan karya-karyanya yang lain.
(tia/mmu)