Duaratus Tahun Setelah Kesunyian Raden Saleh

Retrospektif Sardono di Singapura

Duaratus Tahun Setelah Kesunyian Raden Saleh

Is Mujiarso - detikHot
Senin, 29 Agu 2016 15:18 WIB
Foto: Is Mujiarso
Jakarta - Sardono W Kusumo memejamkan matanya, sambil menikmati semilir angin yang mengeraikan rambut gondrongnya. Ia mengenakan baju beskap ala ningkrat Jawa abad ke-19. Pemandangan di belakang, gedung teater Moulin Rouge yang gemerlap penuh cahaya beserta kincir anginnya yang khas, menjadi tanda bahwa ia sedang berada di Paris.

Pada saat yang lain, ia duduk di dalam trem, memandangi malam di luar jendela kaca. Baju beskap Jawanya barangkali mengusik penonton yang menyaksikan film berjudul 'Raden Saleh After 200 Years' itu. Rupanya, Sardono memang sedang 'memerankan' diri menjadi Raden Saleh. Apakah ini sebuah perjalanan napak tilas?

Sardono dan Raden Saleh memang bukanlah relasi yang asing. Jauh hari, sebelum film ini diproduksi pada 2015 oleh kameramen Faozan Rizal, Sardono sudah memperlihatkan semacam obsesinya pada tokoh pelukis Hindia yang hidup di masa tahun 1811-1880, dan telah terkenal di Eropa pada zamannya itu. Dalam repertoar tarinya yang terkenal bertajuk 'Opera Diponegoro', yang dipentaskan pertama kali pada 2008, Sardono menghiasi panggungnya dengan lukisan repro 'Penangkapan Pangeran Diponegoro' karya Raden Saleh dalam ukuran raksasa yang terbentang transpara sebagai latar depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, ketika bereksperimen dengan media film, Sardono 'kembali' pada tokoh tersebut. Mengapa (lagi-lagi) Raden Saleh?

"Kalau dibilang terobsesi, sebenarnya (obsesi saya) bukan pada Raden Saleh-nya, tapi pada isu kemanusiaan yang melekat padanya, yakni gagasan dan semangat perlawanan dia zaman itu," ujarnya saat berbincang di sela kesibukannya tampil di ajang Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2016 di Singapura akhir pekan lalu.

Sardono (lahir 1945) kemudian memaparkan bahwa sebagai seniman, Raden Saleh melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial dengan membuat tafsir baru atas lukisan penangkapan Diponegoro, yang sebelumnya pernah dibuat oleh seorang pelukis Belanda. "Dalam versi Raden Saleh, Diponegoro digambarkan tegak menantang, tidak tunduk dan lesu seperti dilukiskan oleh seniman Belanda itu," jelasnya.

"Jejak itu diikuti oleh Sudjojono, Hendra Gunawan…seniman itu ya begitu," tambahnya. "Seniman itu tidak perlu banyak-banyak, tapi menginspirasi banyak orang. Rendra ya cukup satu, nggak perlu lima, tapi yang satu itu keberaniannya menginspirasi anak-anak muda untuk jadi berani juga," sambungnya.

Kini, 200 tahun setelah Raden Saleh, Sardono berdandan ala sang tokoh yang menginspirasinya itu, dan berjalan-jalan di Paris untuk menghayati apa yang pernah dilakukan dan dirasakan oleh pelukis besar itu. Adegan tersebut direkam, dan kemudian menjadi film yang merupakan bagian dari proyek 'Expanded Cinema' yang disponsori oleh SIFA di Singapura dan didukung oleh Mandiri Arts dari Indonesia.

"Jadi, pada suatu ketika Raden Saleh kembali ke Paris mengajak istrinya dengan tujuan mau menunjukkan bahwa lukisan dia ada di museum-museum terhormat di sana, dan dia sendiri sosok yang diharga di sana. Tapi, keliling dua hari dia tidak menemukan karyanya, dan kembali ke Batavia dengan kecewa. Ternyata dia di sana suda tak mendapat tempat lagi, era kejayaannya sudah lewat. Saya memakai baju ala Raden Saleh, naik trem, nggak ada yang peduli, begitulah kesunyian Raden Saleh dulu," paparnya.

Adegan Sardono sebagai Raden Saleh di Paris pada 2015 merupakan bagian pertama dari film 'Raden Saleh After 200 Years'. Film ini terdiri atas lima bagian. Pada bagian kedua, Sardono bereksperimen dengan sosok-sosok aneh, seorang perempuan bertato mirip geisha ala Jepang, dan sosok lelaki yang menyerupai harimau. Mereka bertarung di atas meja makan.

Pada bagian ketiga, Sardono menampilkan dalang Ki Slamet Gundono (1966-2014) dengan ciri khas gitar kecilnya, menembang dengan latar belakang Bleduk Kuwu, sebuah dataran di Purwodadi, Jawa Tengah dengan lumpur panas yang menyembur-nyembur. lalu, seorang perempuan hamil dengan perut yang terbuka menari-nari memutari dirinya. Sardono muncul lagi di bagian keempat dan kelima, menari dalam adegan-adegan yang indah dan spektakuler.

Secara keseluruhan, kecuali 'Raden Saleh After 200 Years' yang berdurasi hampir satu setengah jam, 'Expanded Cinema' merupakan rangkaian dari film-film pendek yang merupakan hasil restorasi dari dokumentasi aktivitas Sardono di masa muda (1968-1978). Kala itu, ia berusia 23 tahun dan sebagai seniman Jawa berkeliling melakukan kunjungan ke berbagai wilayah Nusantara, dari Bali hingga Nias. Film-film itu diputar secara serentak dan nonstop pada satu layar besar utama dan 6 layar kecil selama SIFA 2016 berlangsung, pada 13 -18 Agustus lalu.

(mmu/mmu)

Hide Ads