Harsono membayar penghormatannya kepada peristiwa pembantaian masyarakat minoritas Tionghoa antara tahun 1947-1949 silam. Dalam karyanya, Harsono menghidupkan kembali identitas Tiongkok dan kembali membuat ingatan sejarah, catatn arsip, dan kenangan yang seakan terlupakan.
Seperti halnya karya berjudul 'Memorandum of Inhumane Act' (2016), ada 33 buah cetakan digital yang berasal dari dokumen 'Acts of Violence and Inhumanity Perpetrated by Indonesian Bands on Innocent Chinese Before and After the Dutch Police Action was Enforced pada 21 Juli 1947. "Saya menemukannya ketika penelitian di Belanda," katanya, dilansir dari Hyperallergic, Jumat (8/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baginya, memperingati sejarah yang hilang dan indivisu masyarakat Indonesia-Tiongkok tanpa 'kekerasan, kemarahan' maupun 'dendam'. Sebaliknya, ia memajang karyanya dengan bersahaja tapi juga artistik.
Baca Juga: Setelah Jakarta Biennale, Gudang Sarinah Pancoran 'Diisi' Enam Komunitas Seni
Pria kelahiran Blitar 1949 silam mengawali debutnya sebagai seniman melalui Gerakan Seni Rupa Baru. Baginya, karya seni kontemporer adalah upaya untuk menciptakan opini tanding terhadap bentuk-bentuk kekuasaan yang menindas. Harsono memperoleh penghargaan Prince Claus dari Negeri Belanda (2014) dan The Josep Balestier Award for the Freedom of Art di Singapura (2015). Di tahun 2013, ia juga dipilih sebagai Tokoh Seni Kategori Seni Rupa oleh Majalah Tempo, Jakarta.
Pameran tunggalnya digelar sampai 16 April mendatang di Rollins Gallery Tyler (529 W 20th St#10W, Chelsea, Manhattan.
(tia/mmu)