"Penghargaan kepada Pak Jakob akan kami serahkan Rabu (18/11)," kata Didi Kwartanada, Asisten GM Yayasan Nabil kepada detik.com, Senin (16/11).
Salah satu kajian Jakob yang cukup fenomenal, menurut Didi, adalah tentang kesusastraan Indonesia Modern dan Melayu Tionghoa. Begitupun dengan kajiannya tentang sastra lisan Sunda ditinjau dari perspektif penyerbukan silang antarbudaya dinilai telah ikut memperkuat ikatan kebhinekaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sedari 1980-an Pak Jakob menyebutkan, sastra ciptaan Kwee Tek Hoay, misalnya, mutunya jauh melampaui karya-karya Balai Pustaka pada umumnya. Temuan ini ikut membuka pintu pada pengakuan resmi atas sastra Melayu Tionghoa," papar Didi.
Nama Kwee Tek Hoay yang disebut Didi, menerima Bintang Parama Dharma, anugerah bintang budaya tertinggi dari Pemerintah RI pada 8 November 2011. Selain itu, Jakob juga banyak meneliti sastra Lisan Sunda, dan menyumbangkan pemikirannya pada masalah "nation building" dengan sentilan-sentilannya mengenai karakter manusia Indonesia dewasa ini.
Jakob Sumardjo lahir di Jombor-Danguran, Klaten, 26 Agustus 1939. Ia menamatkan pendidikan sarjana sejarah di IKIP Bandung. Mengawali karier sebagai guru di SMA Santa Angela, Bandung, namanya kemudian identik dengan institusi utamanya, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), kini bernama Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung. Ia juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Pasundan.
Sepanjang kariernya, Jakob sudah menghasilkan hampir 50 buku dan ratusan artikel, yang semuanya lahir dari mesin tik Royal 200 yang dibelinya pada 1970. Sebelumnya, mereka yang pernah menerima Nabil Award antara lain Dr. Claudine Salmon (2007), Prof Saparinah Sadli (2011), Siti Musdah Mulia dan Yudi Latif (2012), serta Yayasan Bumi Khatulistiwa (2014).
(jat/mmu)