Biennale atau festival seni dua tahunan, menjadi fenomena belakangan ini. Setiap kota atau komunitas seni di Indonesia berbondong-bondong menyelenggarakan biennale sesuai versinya masing-masing.
Hal ini diakui oleh Direktur Biennale Jogja XIII Ekuator #3 Alia Swastika. "Memang fenomena penyelenggaraan biennale menjadi tren tersendiri dari ranah seni rupa nusantara," ungkapnya di sela-sela jumpa pers di Ruci Artspace, Kebayoran Baru, kemarin.
Baca Juga: Dua Seniman Indonesia Akan Residensi ke Nigeria
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurator berbasis di Yogyakarta dan sudah bekerja selama 15 tahun ini juga mengungkapkan fenomena tersebut menarik diterjemahkan ke seni kontemporer Indonesia sendiri. "Namun, saya belum pernah melihatnya sebagai kompetisi."
Sama dengan penyelenggaraan Biennale Jogja edisi Khatulistiwa yang ketiga ini. Pihaknya mengajak seniman dari negara-negara yang belum terpikirkan oleh penyelenggara di Indonesia. Seperti Nigeria di Afrika Barat yang dikenal dengan ketidakamanannya dan pengedar narkoba.
Simak: Biennale Jogja XIII Ekuator #3 Gandeng Seniman Nigeria
"Kami meriset dan memilihnya terlebih dahulu ketika di Indonesia. Bahkan Pak Dubes-nya sendiri baru tahu kalau Nigeria ada senimannya. Ini seperti misi khusus yang kami harus menyebarkan nilai positif ke publik," ucap Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Yustina Neni.
Hal ini pula yang membuat Biennale Jogja unik dan berbeda dengan biennale lainnya. Pihaknya pun bekerja dengan dana terbatas, intim, dan bukan besar-besaran. Untuk menggalang dana biennale, Neni mengakui Biennale Jogja menggelar pameran karya seni 'Pursuing the Future' hingga 5 Juli mendatang di Ruci Artspace.
(tia/tia)