Tuan, Tuhan Bukan?

Laporan dari Jerman

Tuan, Tuhan Bukan?

- detikHot
Jumat, 13 Mar 2015 17:35 WIB
Tuan, Tuhan Bukan?
Sapardi Djoko Damono, Bertold Damshauser dan Slamet Rahardjo (Iin Yumiyanti/detikHOT)
Leipizig - Tuan, Tuhan bukan?
Tunggu sebentar
Saya sedang keluar

Puisi berjudul 'Tuan' karya Sapardi Djoko Damono itu dibacakan Slamet Raharjo Djarot. Setelah Slamet membawakan puisi itu dalam bahasa Indonesia, Berthold Damshauser lantas membacakannya dalam bahasa Jerman.

Maka, penonton yang memenuhi stand Indonesia di Leipzig Book Fair, yang mayoritas warga Jerman pun lalu bertepuk tangan, Kamis (12/3/2015) waktu setempat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sapardi menjelaskan, ia menulis puisi tersebut seperti membayangkan menjawab ketukan seseorang yang datang ke rumahnya. Ketika Sapardi mengulang membawakan puisi itu dengan nada yang lebih lucu pengunjung pun kembali memberikan applause.

Sapardi dihadirkan dalam Leipzig Book Fair karena karya penyair legendaris itu bagus dan layak diketahui dunia internasional.

Ketua Komite nasional Indonesia Program Frankfurt Book Fair, Goenawan Mohamad mengakui Indonesia memang belum dikenal di dunia internasional. Di Leipzig ini, diibaratkan Goenawan, Indonesia tengah mengetuk pintu untuk memperkenalkan diri. Namun agar perkenalan itu mendapat perhatian tidak mudah, karena Indonesia harus bersaing dengan ratusan peserta lainnya dari seluruh dunia.

"Kita memang belum dikenal. Kita di sini sedang berteriak (bahwa ) Indonesia itu ada," kata Goenawan.

Goenawan memilih tidak menghadirkan simbol-simbol khas Indonesia yang sudah dikenal dunia seperti wayang dan batik. "Itu kan mau mereka (barat) melihat Indonesia sebagai sesuatu yang eksotis," ucap pendiri majalah Tempo itu.

Kita sudah semestinya menentukan sendiri seperti apa Indonesia ingin dilihat dunia. Sebagai Guest of Honour Frankfurt Book Fair, Goenawan ingin saat perkenalan pertama di Leipzig Book Fair, Indonesia dikenal sebagai negara kreatif yang memiliki karya-karya bagus. "Dunia punya penyair bagus. Kita juga punya. Ada Pak Sapardi kita bawa tampil di sini," kata Goenawan yang memilih tema 'Indonesia: 17.000 Island of imagination' untuk slogan Indonesia sebagai Guest of Honour di Frankfurt Book Fair.

Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos mengatakan memilih Indonesia sebagai Guest of Honour Frankfurt Book Fair sebab posisi Indonesia yang strategis. Indonesia memenuhi kriteria ekonomi, politik dan sosial budaya untuk mendapatkan kehormatan yang langka itu. Boos menyatakan Indonesia sebagai negara besar dengan banyak ragam budayanya patut diperhatikan dunia.

Lalu mengapa sebagai negara besar dengan kekayaan budaya luar biasa, sastra Indonesia tidak dikenal dunia? Bagaimana agar Indonesia dikenal dunia? Pertanyaan salah satu pengunjung ini menjadi diskusi yang tidak mudah dijawab saat Indonesia menggelar konferensi pers di Leipzig Book Fair.

"Indonesia negara besar dengan penduduk 300 juta. Mengapa tidak dikenal dunia? Saya juga tidak tahu," kata Sapardi lantas tersenyum.

Goenawan menjelaskan jawabannya memang bukan hal yang mudah. Siapakah yang menentukan sebuah bangsa menjadi dikenal atau tidak dikenal? Salah satu faktor yang harus diakui, dunia sekarang masih didominasi oleh Amerika Serikat. Siapa yang dekat dengan Amerika maka lebih mudah menjadi terkenal.

Laksmi Pamuntjak menyatakan Indonesia harus lebih banyak menerbitkan karya dalam bahasa Inggris agar lebih dikenal dunia. Namun Laksmi mengingatkan bahasa Inggris saja tidak cukup, kualitas karya itu sendirilah yang lebih menentukan."Tidak otomatis karena saya menulis dalam bahasa Inggris maka saya mendapat akses ke penerbit internasional," kata Laksmi.

Harus diakui masih sedikit karya sastra Indonesia yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Bahasa asing masih menjadi kendala pengarang kita. "Kita tidak berbahasa Inggris karena kita tidak bermain kriket," canda Goenawan yang lantas disambut tawa pengunjung.

(iy/ich)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads