"Mangu-mangu wang-wang mangeni. Lamun tansah nenangio nenging nala. Ewuh margiyuh rinaos trenyuh. Mring kahanan kang kebak panandhang. Adhuh dewa ngayomana, muga paringa marga rahayu. Angles kekes nggrantes sasat katindhes," begitulah kemudian tembang Jawa di adegan pertama 'Roro Mendut' tersebut dinyanyikan.
Para penari tetap menyanyikannya sambil menari dengan lemah gemulai. Tiga layar terbentang di belakang panggung. Ilustrasi wayang hasil visualisasi Nindityo Adipurnomo pun tergambar dengan apik.
Di beberapa bagian, karya visual pendiri Cemeti Art House Yogyakarta tersebut nampak dipamerkan. Selama hampir satu jam, penampilan koreografi Retno Maruti bersama kelompok Padnecwara (kelompok tari yang didirikan 1976) membuka IDF 2014.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Roro Mendut dibawa menjadi putri boyongan ke Istana Mataram karena Tumenggung Wiroguno dan bala tentaranya meminta rampasan perang," ujar Maruti usai pentas di Teater Jakarta, semalam.
Di Mataram, Roro Mendut bertemu dengan kekasihnya Pronocitro. Hubungan keduanya dengan Wiroguno sangat baik sehingga timbul konflik cinta segitiga.
"Kisah ini populer di masyarakat Jawa, dan banyak diadaptasi ke berbagai versi. Saya juga sudah mementaskannya di banyak tempat selama 30 tahun terakhir ini," ungkapnya.
Dalam proses kolaborasi, Maruti dan Nindityo bersama-sama mengembangkan aspek dasar koreografi terutama dramaturgi eksplorasi visual tari klasik Jawa. "Tari klasik Jawa sudah sangat visual sehingga saya hanya menambahkannya sedikit di atas panggung. Baik visual maupun gerak di tarian ini sebagai tafsir dari tiga orang yang terperangkap dalam cinta, tataran fisik, dan dimensi simbolik," ucap Nindityo.
Sepanjang empat dekade menari klasik Jawa, Maruti sudah melahirkan banyak karya. Di antaranya, Abimanyu Gugur (1976), Roro Mendut (1977-1979), Sawitri (1977), Bedaya-Legong Calon Arang (2006) yang mempertemukannya dengan koreografer Ayu Bulantrisna Djelantik. Di tarian ini, ia memadukannya dengan tari bedaya Jawa dan legong Kraton dari Bali.
(tia/mmu)