Aku pertama kali baca tulisan SGA di Jurnal Prisma tahun jebot, waktu nulis soal film Rocky IV. Lalu baca karya-karya fiksinya yang lain, juga non fiksinya soal komik dan film. Sembah sujud untuk doi. Produktif, apik. Ini buku-buku karya dia yang diterbitkan prabrikan Jogja.
Di foto itu tampak buku Iblis Tak Pernah Mati terbitan Galang Press dalam dua versi sampul yang berbeda. Lalu, ada novel Jazz Parfum dan Insiden yang kini banyak diburu orang lagi karena sudah langka. Juga, ada buku non fiksi yang sempat jadi fenomenal, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Dan, tentu tak ketinggalan, kumpulan cerpen yang paling hits, Saksi Mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebetulan pagi ini ada 3 buku SGA yang tergeletak tak jauh dari bantal, tak apalah saya sertakan buat ikut pamerarsip," tulis Lapak Buku Tualang, sebuah akun jualan buku yang beralamat di Bandung. Tiga buku yang dipamerkan itu adalahΒ Negeri Kabut, Wisanggeni Sang Buron danΒ Dunia Sukab.
Lalu, pemilik akun yang sama melanjutkan, "Jadi ingat zaman dulu pas di satu hari Minggu di pasar kaget Gasibu menemukan Negeri Kabut terdampar di emperen dengan harga 8000 perak itu pun masih saya tawar hahaha...ah buku memang jodoh-jodohan."
Soal buku adalah jodoh, fotografer Yudhi Soerjoatmodjo pernah punya pengalaman yang bikin hati masgul. Ia pusing mencari buku Jejak Pangan: Sejarah Silang Budaya dan Masa Depan karya Andreas Maryoto. Ia pun memansang pengumuman di wall Facebok-nya dengan menge-tag hampir 40 akun penjual buku yang ada di jejaringnya. Satu per satu komentar pun mulai bermunculan. Hampir semua mengatakan tidak punya. Sampai 5 hari kemudian Ada komen yang menunjukkan buku tersebut. Yudhi pun girang. Ia siap membayar berapapun. Tapi, ternyata orang itu tak bermaksud menjual bukunya. "Ini koleksi pribadi," katanya. Rupanya, ia pun hanya mau pamer.
Pamer arsip dan bertukar kenangan tentang buku hanyalah satu bentuk romantisme antarpecinta buku yang bisa terjadi di Facebook. Tentu tak hanya itu. Seiring dengan saling pamer koleksi, dan saling bikin iri, terjadi juga obrolan ringan tentang isi buku-buku.
Aktivis industri buku indie di Yogyakarta, Irwan Bajang pun muncul di forum tersebut dan nimbrung. "SGA ini keren, kalau nggak kenal dia kayaknya saya nggak tahu mana tulisan bagus dan tidak. Jika hanya boleh baca satu buku saya akan pilih salah satu buku SGA," ujar pendiri Indie Book Corner itu.
Lalu terjadilah diskusi tentang cerpen Matinya Seorang Penari Telanjang, dan apa buku kumpulan cerpen Seno yang terbaik. Menurut Irwan, Saksi Mata. "Tapi, Seno sendiri menganggap kumcer terbaik dia Negeri Kabut. Ya, sebelas-duabelaslah," katanya.
Obrol-obrol ringan yang menggelitik itu memancing Lapak Buku Tualang untuk kembali menyahut, "Buku kumpulan cerpen Atas Nama Malam memperkenalkan saya kepada SGA sampai akhirnya tersesat dalam dunia kibul beliau sampai sekarang," katanya.
"Nah, gini ini lho buku tuh, diobrolin isinya bukan cuma pada rebutan ngumpulin doang hehehe..." seloroh Adhe sang pemicu diskusi.
Dengan pamer koleksi buku-buku SGA terbitan "prabrikan Jogja" tersebut, Adhe sebenarnya sedang bernostalgia. Pada awal dekade 2000 ia mengelola penerbit buku yang diberi nama Jendela. Bersama-sama Bentang Pustaka, Galang Press, Aksara Indonesia, dan masih banyak lagi ia ikut mewarnai jagad perbukuan Indonesia dengan karya-karya alternatif yang sangat khas. Pada 2007 Jendela tutup, bersamaan dengan gelombang runtuhnya penerbit-penerbit Jogja yang "salah urus".
Kini, Adhe masih tetap berkiprah di perbukuan. Penulis buku Declare: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007) itu terus bergerilya. Ia membuat akun Kujang Press dan berjualan buku di Facebook. Ia juga punya rencana untuk menerbitkan kembali sejumlah buku terbitan Jendela. Yang sudah dikerjakannya adalah Orang-orang Terbungkam karya Albert Camus dan Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Ia sudah menyebar pengumuman di Facebook, dan mendapat respons yang positif.
Langkah Adhe itu mengundang novelis Dewi Kharisma Michellia untuk melemparkan tantangan, bagaimana kalau sekalian menerbitkan kembali karya-karya Seno Gumira. "Mungkin Mas Adhe mau menggaet SGA ke ranah penerbitan Jogja lagi daripada buku-bukunya semakin menjadi tua di Jakarta," ujar penulis novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya itu.
"Menjadi tua di Jakarta" adalah frase yang kerap disebut Seno dalam tulisan-tulisan kolomnya tentang kehidupan metropolitan. Dewi menggunakannya barangkali untuk menyindir bahwa buku-buku Seno yang diterbitkan oleh "pabrikan Jakarta" menyedihkan dilihat dari segi seni perbukuan. Apapun itu, bagi Adhe, tantangan tersebut bisa-bisa saja diwujudkan. Tapi, jika memang tak memungkinkan lagi, Irwan Bajang punya kabar yang menyejukkan.
"Saya sempat ngobrol dengan SGA di IKJ beberapa hari sebelum dia nolak Bakrie Award. Dia bilang, saya itu sudah tua belum nulis banyak, masih banyak yang harus saya tulis. Saya malas urusi penerbitan, royalti dan lain-lain, kalian fotokopi saja. Fotokopian juga sudah bagus kok...." kisah Irwan menirukan sastrawan pujaannya.
(mmu/mmu)











































