Ditandai dengan pengenalan ikon hitam-putih baru untuk Chuck Taylor All Star pada 1949, kemudian muncul seri Oxford Chuck, sepatu kanvas dengan model potongan rendah pada 1957.
Tapi itu belum apa-apa hingga pada 1960-an muncul versi berwarna dari sepatu Chuck Taylors yang disambut baik oleh pasar. Mereka pun harus menanggapi permintaan dari berbagai tim basket yang tertarik untuk mencocokkan warna sepatu dengan atribut seragam tim.
Nasib berubah pada akhir 1970-an, sepatu olahraga dengan teknologi yang lebih canggih menggoda pasar. Merk seperti Nike, Adidas dan Puma menjadi pesaing bersama berbagai sepatu basket generasi baru.
"Para pemain NBA mengenakan Chuck Taylors dan mereka adalah yang terbaik, jadi itulah yang semua orang ingin pakai," ujar Michael Ray Richardson, seorang penjaga untuk klub New York Knicks, Golden State Warriors, dan New Jersey Nets tahun 1978-1986, seperti dilansir BBC, Jumat (13/06/2014).
Converse pun kehilangan senjata rahasia dengan berlalunya kejayaan Taylor pada 1968, satu tahun setelah ia dilantik ke dalam Basketball Hall of Fame. Kemudian hadirlah sebuah kebangkitan singkat dari sepatu ini di era 1980-1990-an, yang didorong oleh budaya musik grunge.
Kurt Cobain sebagai panutannya mengubah takdir merk sepatu bermaterial kanvas ini. Dengan harga yang terjangkau dan desain yang hebat, sepatu Converse kini tersedia dalam berbagai bahan dan warna, bahkan dalam versi setinggi lutut.
Anak-anak yang datang dari akar musik sudah tidak tertarik pada akar olahraga basket dari sepatu ini. Di antara rocker pengguna Converse tadi adalah Tommy Ramone, drummer dari kelompok musik The Ramones. Ketika ditanya siapa Chuck Taylor menjawab, "Dia mungkin pelatih basket atau sesuatu. Saya tidak tahu. Yang pasti dia membuat sepatu murah," paparnya.
(ass/mmu)