Mitha Budyanto sebagai kurator pameran mengatakan Swatata merupakan isu yang penting untuk dikemukakan ke ranah publik saat ini. Nah, melalui seni rupa trio seniman muda itu mencoba mengupas realita pola kelola birokratis dalam masyarakat.
"Pola kelola swatata yang dibahas ini urgen. Karena pola kelola kelembagaan yang ada, menjadi terlalu kaku untuk gaya hidup dan praktik kultural yang sedang tumbuh dan berkembang," kata Mitha Budhyarto melalui surat elektronik kepada detikHOT Selasa (6/05/3014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita lihat sendiri betapa seringnya kita mencoba membuat sesuatu yang baru, tapi terhalang oleh peraturan ini itu yang belum tentu penting atau tepat."
Mitha menambahkan, dari keluhan tentang birokrasi yang makin tidak efektif dan menjurus represif pada akhirnya membatasi gerak kreatifitas.
Karenanya, dalam pameran yang diadakan di Ruang Rupa, Tebet, Jakarta Selatan ini, tiga seniman yang terlibat menguji, mengeksplorasi dan mendalami pola kelola alternatif dan menyajikannya dalam bentuk karya seni visual.
Mitha merasa bahwa pola swatata, yang mencoba mengelola diri sendiri secara bersama-sama tanpa bantuan institusi negara maupun korporasi besar sangatlah berbeda.
"Pengelolaan harus bersifat kontekstual. Berawal dari kebutuhan yang ada, siap untuk berbentur dengan kondisi yang terus berubah, dan terus terbuka atas pembaruan diri."
Mitha pun menjelaskan gambaran besar dari karya yang dibuat oleh tiga seniman dalam pameran ini. "Karya Arie yang menguji seberapa fleksibel pola swatata pada pedagang Indomie di Jakarta," Mitha menjelaskan.
Sedangkan karya Ismal membahas cara distribusi gagasan swatata yang banyak memanfaatkan sistem desas desus dan omongan dari mulut ke mulut secara informal.
"Rofi lain lagi. Poin terpenting dari karya Rofi adalah usahanya untuk mencari prinsip dasar atau struktur dari praktik-praktik swatata yang seakan ruwet dan tak berpola, yang menurut saya sangat menarik."
(ass/utw)











































