Namanya tak seterkenal Affandi, S.Sudjojono, dan Hendra Gunawan namun dari tangan pelukis ini melahirkan murid-murid yang kini menjadi pelukis kontemporer. Melalui ajarannya, istilah 'greng' dalam menilai suatu lukisan dipakai dalam 'Magelang Arts Event' 2014 oleh Deddy PAW dan kawan-kawannya.
Namanya adalah Widayat. Pelukis kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah dan menetap di Magelang hingga akhir masa hidupnya. Di Magelang pula, kini berdiri museum yang memajang karyanya dan dua galeri atas nama kedua istrinya. Lokasinya tak jauh dari Candi Borobudur.
Bertepatan dengan ulang tahun Oei Hong Djien alias OHD ke-75 tahun, peluncuran buku 'Pioneer Number Four: H.Widayat' sekaligus perayaan seni rupa bagi kota Magelang, OHD Museum memamerkan karya-karya Widayat dengan berbagai macam tema. Totalnya ada 130 karya milik OHD pribadi yang belum dikenal publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
"Dia itu Picasso-nya Indonesia," ujar Oei Hong Djien atau dikenal OHD dengan lantang saat berada di Museum Widayat, Magelang, Sabtu akhir pekan lalu (26/4/2014). Ya, ungkapan ini bukan isapan jempol belaka bagi OHD. Ia mengatakannya dengan berbagai pertimbangan atas lukisan karya Widayat.

Menurutnya, beberapa lukisan Widayat yang beraliran kubisme memang terpengaruh dari pelukis kelahiran Spanyol, Pablo Picasso. "Ia sangat mahir membuat deformasi. Pengaruh Picasso terlihat dari deformasinya," ujarnya.
Figur-figur yang dibuatnya tak kalah kaya. Bentuk-bentuknya selalu berbeda meski dalam beberapa tahun temanya sama. "Itulah hebatnya beliau."
Tak hanya terpengaruh oleh Picasso saja, namun tekstur dan warna tanahnya bisa mengingatkan terhadap karya dari Jean Dubuffet, seniman asal Perancis. Ini menambah kemagisan dari lukisan Widayat. Bahkan ketika ia bekerja dengan media arkilik.
Gaya Joan Miro juga terlihat. Sebagian karyanya di atas kertas memperlihatkan ciri-ciri Paul Klee, seniman Jerman-Swiss. Gaya kubisme Widayat terlihat dari karya lukisannya.

Di antaranya, 'Deformasi Figur' yang dilukis pada 1975. Lalu 'Macam-Macam Wajah' pada 1977 lalu. Keduanya dibuat pada periode yang sama, yang satu tanpa tekstur, satulanya lagi bertekstur.
Meski demikian, kata OHD, ia pantas disebut sebagai Picasso-nya Indonesia. Tak ada pelukis asal Indonesia yang mampu menyamai kemampuan dari Picasso dan bergaya kubisme seperti Picasso.
(tia/utw)