Tan pisah pambenging resi
Pinangka panjering kodrat
Perang candhala lan budi
Amung titah sayekti
Kang manungkul mring
Hyang Agung
Pantes yen sinebuto."
"Meskipun engkau kesatria
jangan meninggalkan sifat brahmana
sebagai pedoman hidup
Perang antara kebaikan dan keburukan.
Hanya manusia yang menyembah pada Hyang Agung
yang pantas disebut kesatria sesungguhnya."
Inilah sepenggal tembang dalam pagelaran tari berjudul 'Abimanyu Gugur' yang dibawakan oleh Sanggar Padnecwara pada 7-8 Maret 2014. Tari Jawa yang merupakan karya maestro tari Retno Maruti dan Rusy Nostalgia itu digelar di Gedung Kesenian Jakarta.
Pagelaran ini adalah peringatan usia Padnecwara ke 38 tahun sekaligus memperingati Hari Perempuan Sedunia. Karenanya tak heran jika Retno Maruti menurunkan 22 penari wanita untuk membawakan penggalan dari kisah Mahabarata itu.
Selain itu, ada yang menarik dari kisah Abimanyu Gugur. Saat pertama kali menggubahnya menjadi sendratari, Retno Maruti terinspirasi dari karya sastra dari Danarto yakni sebuah cerpen berjudul 'Nostalgia'.
"Sejak awal saya tertarik karena Danarto mengambil sudut pandang yang berbeda dari kisah wafatnya Abimanyu," kata Retno Maruti kepada detiHOT, usai pementasan Jumat malam (7/3/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal kenyataannya Abimanyu sesungguhnya sudah pernah menikahi Siti Sundari. Sang katak yang muncul di Padang Kurusetra itu mengingatkan konsekuensi dari sumpah seorang kesatria pada Abimanyu. Yakni melalui kutipan tembang di atas.
"Inikan menarik sekali," kata Retno Maruti. Bagaimana Danarto mengintrepretasikan cerita lewat sosok seekor katak, hewan yang tidak ada artinya.
Tapi bisa memberi pencerahan jiwa pada Abimanyu. "Ada nasehat dibalik cerita itu bahwa jangan melihat sesuatu dari tampilan fisik saja."
Buat Retno Maruti sendiri, karya ini jadi tantangan tersendiri. Karena tentunya berbeda dengan sendratari wayang biasa yang sudah ada pakemnya. "Bagaimana kami harus bisa membawakannya bukan hanya sebagai kelenturan tubuh tapi juga sebagai ungkapan jiwa," kata Retno Maruti.
Retno mengungkapkan bahwa untungnya sejak pertama dia menggubah tarian ini, Danarto sendiri sudah sangat dekat dengan Padnecwara seperti keluarga. "Sejak pertama proses kreatif kami di tahun 1976, Danarto sudah mendampingi jadi enak bisa bertukar pikiran."
Natyasastra Padnecswara sendiri bermakna dua tarian klasik lokal bergaya Yogyakarta dan Surakarta. Jadi Retno tetap menggunakan semacam formasi utama yang menjadi pakem budaya.
Di antaranya yakni sembilan penari menggambarkan Pandawa dan sembilan penari menggambarkan Kurawa. Ditambah beberapa penari lagi di luar sosok-sosok utama.
Perbedaan karya Retno dengan yang sebelumnya adalah penggunaan beberapa instrumen modern dalam karawitannya. "Oh iya, kami memang menggunakan saksofon, tambur dan trumpet dalam beberapa bagian," kata Retno Maruti.
Namun menurutnya ini sesuatu yang biasa dilakukan bahkan di Kraton Yogyakarta. "Penggunaaanya lebih karena saya mengambil semangatnya saja. Liris, gerakan tetap lembut, tapi tetap memberi kesan ini adalah gerakan menuju perang," kata Retno Maruti.
Abimanyu Gugur, sebelumnya pernah dipentaskan di Teater Arena TIM (1976), Graha Bhakti Budaya TIM (1986 dan 2004), Indonesia Dance Festival di TIM (1994), Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Besar ISI Surakarta (2002), dan Woman Playwrights International di Graha Bhakti Budaya (2006).
(utw/tia)