"Tawaran awalnya dari buat mural di TK-TK yang ada di Jakarta," katanya kepada detikHOT, Kamis (20/2/2014).
Namun saat ia kuliah pekerjaan ini sempat terhenti. Saat itu, ia hanya berkreativitas sesuai idealismenya dan membuat kelompok-kelompok seni di jurusan Seni Rupa UNJ maupun masyarakat.
Baru usai ia lulus kuliah, pria yang akrab disapa Arman mulai mendapatkan tawaran untuk hotel, restauran, rumah sakit, Taman Kanak-Kanak, dan sebagainya. Seperti yang dilakukannya di Hotel Artotel Jakarta.
"Di sana karyanya Darbotz, tapi kami yang jadi operator atau aplikator yang ngebantuinnya," ujarnya.
Hotel tersebut memang merupakan hotel butik yang terinspirasi dengan gaya seni urban. Letaknya di dekat Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat. "Hotel Alium di Tangerang kalau itu dari kami," kata Arman.
Di hotel itu, ia bersama beberapa temannya membuat mural di ruang-ruang pertemuan. Salah satu pendiri komunitas Serrum ini membuat desain untuk ruangan Sydney dan Hongkong. "Serta di front office juga."
Pekerjaan ini dilakoninya bersamaan dengan tawaran menata karya seni yang akan dipamerkan. Menurutnya bekerja sebagai seniman jalanan freelance tak melulu memikirkan idealisme.
"Ibarat sambil menyelam minum air. Taste ngedesainnya pun tetap sama tapi motivasi membuatnya saja yang beda," ujarnya.
Terkadang tawaran membuat mural secara bisnis ini bisa dalam dua bentuk, yakni ia menjadi tukang gambar dengan ide orang lain. Serta satunya lagi, Arman benar-benar memikirkan konsep, ide gambar, komposisi sampai melukiskannya sendiri ke dinding.
"Dari sana tentunya harganya beda. Tergantung kualitas gambarnya dan ada juga hitungan per meternya dihargai berapa. Kalau itu luasnya kita disuruh buat mural."
Jika secara rasa estetikanya semua tetap ada seninya. Namun memang ia mengakui ada beberapa seniman yang hanya ingin berkreativitas buat mural tanpa menjadikannya sumber pencaharian ekonomi.
"Yah, itu kembali kepada pilihan-pilihannya," ujarnya.
(tia/ass)