Slamet Gundono namanya. Dia bukan hanya terkenal dengan berat bobot tubuhnya. Tapi terlebih lagi karena karya sepanjang usianya.
Ya, memang dia adalah keturunan dari seorang dalang ternama. Tapi namanya kian bersinar kala dia berhasil mempopuperkan wayang sukat, wayang yang dibuat dari rumput dalam tiap pementasannya. Setiap pentas, ia terbiasa hanya memakai sarung dan bertelanjang dada.
Sayang, di usianya yang baru menginjak 47 tahun Januari lalu, Slamet meninggal dunia. Dia sempat dirawat di Pabelan, Kartasura karena komplikasi berbagai penyakit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laiknya pesta peringatan, mereka mengadakannya meriah, hangat, dan penuh berbagai tampilan seni. Di antaranya yang digelar di komunitas Salihara, Pasar Minggu, Kamis (13/2/2014) lalu.
Kali ini, detikHOT akan merangkum beberapa perjalanan Gundono. Serta testimoni dari beberapa para sahabat yang pernah bertemu sekaligus kerja bareng dengannya.
***
Ruangan di serambi Salihara, Pasar Minggu, Kamis akhir pekan lalu (13/2/3014) sudah terisi setengahnya. Meski telat 30 menit dan tak ramai seperti acara biasanya, namun suasana hangat terasa.

Para hadirin yang datang ingin mengenang 40 hari wafatnya Slamet Gundono. Untuk memperingatinya, komunitas Salihara mengadakan pemutaran film dokumenter 'Gundono adalah Sebuah Kejadian' karya Supriyatno Yayat yang mengisahkan perjalanan karirnya.
Serta video mengenai cuplikan petikan pentasnya di komunitas Salihara. Ini bukanlah salah satu perayaan kematiannya yang pertama.
"Setiap kota ikut merayakan Slamet Gundono sebagai sosok yang berpengaruh di dunia seni wayang Indonesia," ujar Goenawan Mohamad kepada detikHOT di Salihara.
Ucapan Goenawan benar. Di malam yang sama, pengelola Taman Budaya Surakarta bersama sejumlah seniman menggelar acara bertajuk 'Kelingan Lamun Kelangan, Refleksi 40 Hari Slamet Gundono'.
Mereka membedah karya Gundono dari sudut pandang teater, pedalangan, musik, sosial, dan sebagainya. Di puncak acara, digelar tahlilan dan 'Umbul Donga Nyawiji Gusti, Kelingan Lamun Kelangan' di pendapa setempat.
Pentas wayang suket oleh sanggar milik almarhum pun menambah kemeriahan suasana. Serta pentas musik dari para sahabatnya. Pentas lakon Kelingan Lamun Kelangan (Ingat Kalau Kehilangan) ini merupakan pentas pertamanya yang digelar 1997 silam di Riau.
Tak hanya di Solo, mahasiswa dan seniman Bandung ikut mengenangnya di Sabtu malam (15/2/2014). Ada juga dari kota kelahiran Gundono yakni Slawi.
"Ia tak hanya terkenal karena wayang suketnya tapi membuat konsep pedalangan sesuai dengan khasnya," kata Goenawan.
Ya, sebagai seorang dalang ia menjadikan dirinya pusat pentas. Terkadang dia bertindak sebagai aktor yang memerankan wayang, pesinden yang menyanyi, maupun pemusik dengan kentrung di tangannya.
Pada 5 Januari lalu, Gundono wafat karena kelebihan berat badan dan penyakit yang selama ini dideritanya. Keluarganya berduka. Para sahabatnya pun demikian. Sama halnya dengan pecinta wayang tanah air.
Kini, namanya menjadi salah satu seniman wayang terkemuka, pantaslah seperti kata Yayat 'Gundono Adalah Sebuah Kejadian'.
(tia/utw)