Mulai dari menembus medan yang bisa dibilang cukup berat, mengenal budaya dan keseharian warganya, mengadaptasi logat daerah itu dan masih banyak lagi.
Untungnya penduduk disini menerima kehadiran mereka dengan tangan terbuka. Ketika ada loka karya, para warga yang terlibat dalam pembuatan film ini juga banyak memberikan masukan. "Misalnya menyarankan sebuah kata diubah menjadi bahasa daerah itu, yang pengucapannya lebih sederhana tapi emosinya sama."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi meski gunakan bahasa mereka, saya masih bisa dapatkan emosi yang sama," jelas Maryam Supraba. "Ini karena mereka bisa menjelaskan dengan tepat maknanya apa jadi enggak terlalu sulit untuk menyerap maknanya dan diubah menjadi dialog berakting. Namun untuk pengucapannya tentu ada kesulitan."
Ini merupakan pengalaman pertama Maryam untuk melakukan syuting di sebuah pedalaman Indonesia dan harus bisa mengadopsi gestur, mimik hingga logat daerah ini.
"Untuk mimik, yang menonjol itu mereka kalau mengiyakan sering dengan mengangkat alis sembari menengadahkan dagunya, kalau dikita kesannya sok atau tengil. Kadang enggak ngomong sama sekali, hanya mengangkat kepala seperti itu, he-he-he."
Untuk gestur badan dari warga setempat, dalam observasi Maryam ini tidak banyak berbeda dengan kita. Namun yan utama, bila di kota kita bisa bicara seenaknya, disini jagalah ucapan saja.
(ass/utw)