Meski sudah wafat 28 tahun yang lalu, namun nama maestro pelukis S.Sudjojono masih tetap berkibar. Untuk memperingati 100 tahun kiprahnya dalam dunia seni, S.Sudjojono Center bekerja sama dengan Galeri Canna serta institusi lainnya mengadakan pameran lukisan miliknya.
"Sejak awal tahun, kami sudah membuat serangkaian acara, mulai dari diskusi lukisan Pertempuran Sultan Agung dan JP Coen, pentas teater Pandan Wangi hingga acara puncak ini," kata Maya Sudjojono dari S.Sudjojono Center di Pakarti Center, Rabu malam (11/12/2013) lalu.
Pameran yang bertajuk 'Seni, Hidup, dan Peninggalan' ini diadakan untuk publik dari 11 sampai 22 Desember mendatang. Di sini menampilkan 40 buah lukisan, 24 sketsa, foto-foto, surat pribadi, rekaman audio dan video, puisi, dan beragam memorabilia lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antaranya lukisan Kepala Gombal, Ibuku, Pulang Membawa Kayu, Gerak Baru, Corak Seni Lukis, Bis Kota, dan Suasana Lebaran.
"Pameran ini terbaru menjadi empat bagian. Kami mengklasifikannya tidak sesuai dengan tahun, tapi tema dari lukisan Pak Djon," katanya.
Untuk bagian pertama, yakni S.Sudjojono sebagai visioner. "Di sinilah, ia mulai dikenal sebagai penentang para pelukis yang menggambarkan keindahan. Ia ke aliran ekspresionisme."

Santy menjelaskan jika lukisan pria yang akrab disapa Pak Djon ini selama Indonesia perang tidak memakai darah dalam lukisannya. Serta tidak adanya pertempuran. Seperti yang tampak di lukisan 'Pertemuan di Tjikampek yang Bersedjarah' (1964).
Bagian kedua tentang Pak Djon sebagai kritikus sosial. Di sini, kata Santy, lebih banyak lukisan di atas era 1960an. Sedangkan bagian yang ketiga tentang pribadi Pak Djon.
"Sebagai individu, keluarga, dan teman-temannya. Ia juga banyak melukis dirinya sendirinya. Sama seperti Affandi," katanya.
Lukisan potret dirinya yang terakhir adalah yang bergambar potret wajahnya dikelilingi karangan bunga.
Untuk bagian terakhir adalah tentang keluarga. Di sini, ada banyak lukisan mengenai istrinya Rose Pandanwangi, putri-putrinya, dan sebagainya.
Selain itu, juga terdapat ruangan khusus mengenai replika lukisan 'Pertempuran Sultan Agung dan JP Coen' serta analisa setiap simbol di dalamnya.
"Di lukisan ini, Sultan Agung memakai motif batik parang barong, ada tempat meludah atau kecohan, ada tempat sirih atau cepuri juga," ujarnya.
(tia/utw)