Tradisi VS Modernitas Di Pentas 'Titian Asa' Ala Gumarang Sakti

Kembalinya \'Gumarang Sakti\' (2)

Tradisi VS Modernitas Di Pentas 'Titian Asa' Ala Gumarang Sakti

- detikHot
Rabu, 04 Des 2013 10:14 WIB
Benny Krisnawardi, koreografer. (Tia Agnes Astuti/detikHOT)
Jakarta - Suara wanita sedang menumbuk pagi di lumbung terdengar saat gordin panggung mulai dibuka. Di sisi kanan panggung, muncul enam penari wanita berpakaian merah.

Kolaborasi tari masih berlanjut. Tiga penari pria masuk dengan adegan laiknya bertarung. Di tengah adegan, seorang perempuan berjubah putih hadir di tengah panggung.

Pentas yang bertajuk 'Titian Asa' dalam kegiatan 'Jakarta Berkolaborasi' oleh Gumarang Sakti Dance Company merupakan karya sanggar setelah tahun 2009 silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Titian Asa merupakan karya kolaborasi yang kami ciptakan," kata sang koreografer Benny Krisnawardi, 46 tahun kepada detikHOT akhir pekan lalu.

Selain itu, pementasan juga diisi oleh Dindon W.S sebagai sutradara, Katia Engel sebagai penata video instalasi, Doni Irawan sebagai penata musik dan Ine Febrianti sebagai bintang tamunya.



"Tarian ini menceritakan tarik menarik antara seni tradisi dan modernitas. Tanpa disadari generasi kita sudah sampai ke situ. Itu hal yang wajar tapi patut diwaspadai," ujar Benny.

Lulusan seni tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini juga mengatakan sengaja mengadirkan sosok perempuan misterius dalam peran Ine. "Ia sebagai benang merah. Penutur."

Perempuan itu, kata dia, merupakan benang pengikat semua persoalan. Ini berhasil menciptakan emosi, kematian yang dituturkan, serta berbicara tentang kondisi masa kini.

"Saya juga sengaja menggunakan bahasa yang bukan seperti sinetron. Bahasa baku yang penuh syair," ujar pria yang belajar menari sejak tahun 1986 ini.

***

Menurutnya, menjadi koreografer dengan membawa nama besar Gumarang Sakti menjadi tantangan tersendiri baginya. Termasuk menghadirkannya kembali dalam dunia seni tari kontemporer.

Dari pementasan tersebut, hanya ada tiga penari yang memang sudah lama di Gumarang Sakti. "Yang lainnya bukan asli dari Gumarang, hanya ikut proses ini saja."

Ia mengatakan sudah mengenal Gumarang sejak tinggal di Batu Sangkar. Saat itu, kakaknya pun menjadi anggotanya. "Otomatis saya tertarik belajar menari di Gumarang Sakti."

Jika usia dewasa seorang remaja pada 17 tahun, maka kata Benny, dirinya sudah memasuki masa matang. Kiprahnya dalam dunia tari hampir 25 tahun lamanya.



"Gumarang Sakti sudah mendarah daging di saya, makanya gerakan ciri khas Gumarang masih ada di saya. Jika 75 persen Gumarang, sisanya adalah saya," ujar Benny.

***

Perjuangan Benny dan Dindon sang sutradara yang sempat lama berkolaborasi dengan Gusmiati Suid untuk mengumpulkan kembali anggota Gumarang yang tercecer tidaklah mudah.

Buat Benny perjuangan itu dimulai dari meyakinkan beberapa anggota yang masih tertarik untuk menghidupkan kembali sanggar ini.

"Tidak mudah, tapi karena masih ada satu spirit pada akhirnya bisa. Meski tanpa kehadiran ibu lagi, saya yakinkan kita masih bisa," kata Benny pada detikHOT usai konferensi pers, Rabu (27/11/2013).

Selepas Gumarang Sakti vakum, ternyata banyak dari penari yang mengembangkan diri jadi koreografer, pemusik yang komposer.

Kunci mempersatukan itu kata Benny ada pada karakter yang sudah terbentuk dan materi tarian dari Gusmiati yang sudah ada pula. "Jadi kami anggap ini sebagai momentum melanjutkan cita-cita ibu juga," kata Benny.

Warisan yang ditinggalkan Gusmiati juga dinilai Benny masih melekat pada beberapa anggota. Seperti misalnya karakter kemandirian dan kebebasan mengembangkan kreatifitas.

"Dulu ibu hadir memberi motivasi untuk eksplorasi dan memancing kami mewujudkan karya. Jadi secara spirit sebenarnya sama," kata Benny.












(tia/utw)

Hide Ads