"Dan bukan hanya itu, kesenian bisa memberikan tanggapan yang jauh lebih mendalam. Seperti pada film 'Spielzeugland', tidak ada orang ditembak atau meninggal disana. Tapi pesan dari film ini mampu menyampaikan hebatnya penderitaan orang Yahudi," ujar Hilmar.
Tak heran mengapa tema konflik dalam kebudayaan juga terkait dengan peran seni. Hilmar menjabarkan relevansi antara film pertama yang mempertontonkan sejarah kelam Jerman dengan film kedua tentang sejarah kelam Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sastra bisa berperan besar untuk hal ini. Untuk mencari sesuatu dimana ia menjadi semacam kunci untuk mencari masa lalu yang pedih.
***

Kontras antara generasi yang memunculkan diskursus sekaligus perdebatan soal sejarah bangsa. Ikut dirasakan oleh sastrawan Okky Madasari. Okky menjadi salah satu pembicara dalam diskusi Akar Kekerasan ini.
Ia menyadari, bahwa dirinya terlahir dalam sebuah kehampaan sejarah. Ketika peristiwa 1965 terjadi, ibunya baru berusia 2 tahun. "Nenek saya orang desa yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa paham atas apa yang sedang terjadi," ujarnya.
Sementara kekosongan ruang bagi sejarah itu, diisi oleh pemutaran film G30S/PKI setiap tahunnya. Ditambahan pemahaman sejarah dan sosok yang dirumuskan untuk mendukung hegemoni penguasa Orde Baru.
"Jadi generasi yang lahir pada akhir 70-an atau awal 80-an, mendapatkan Pancasila sebagai hal pertama yang kami pelajari di sekolah dan Suharto adalah orang pertama yang kami kenal dalam sejarah bangsa Indonesia. Sementara film pengkhianatan G30S/PKI adalah film dewasa pertama yang kami tonton."
Ia ingat bahwa sejak kecil, film ini wajib ditonton, selain karena tak banyak opsi tontonan di televisi pada masa itu, hal ini juga didukung oleh regulasi sekolahnya. Menurutnya, film ini membentuk memori kolektif soal strotip PKI dan Gerwani yang berisikan manusia-manusia kejam dan sadis.
Karya seni sastra pada saat itu pun seolah diisolasi untuk tidak menyuarakan kekerasan dan ketidak adilan yang terjadi di masyarakat. Sastrawan seperti Pramodya Ananta Toer juga W.S. Rendra tidak diperkenalkan bagi para siswa-siswa sekolah.
"Saya dan kawan-kawan se-generasi terbentuk oleh doktrin dan nilai-nilai yang tidak seharusnya ditanamkan. Kemudian saya mempelajari bahwa karya seni dan sastra yang digunakan oleh kekuasaan adalah bentuk kekerasan itu sendiri," kata Okky.
Semasa sekolah yang diperkenalkan kepada murid, menurut pengalaman Okky, adalah puisi-puisi yang dirasa terkait dengan kepentingan penguasa. Sastra pun telah dipoles sedemikian rupa hingga menjadi hal yang tidak bisa menggugah kesadaran dan menyuguhkan kebenaran.
Bagi Okky peran seni dan sastra adalah untuk menyentuh jiwa dan memberi kesadaran baru. Sehingga kita bisa melihat kembali dengan perpektif yang baru, bisa menggempur kesadaran lama yang dibentuk oleh kekuasaan Orde Baru.
***
Titik perubahan soal kebenaran yang absolut di Indonesia terjadi ketika terjadi tragedi 1998 yang mengusung terjadinya reformasi di Indonesia. Surat kabar dan sastra yang tadinya dibungkam hingga hening, mulai menyeruak dan bisa membeberkan berbagai perkara yang terjadi selama ini.
"Tapi masih ada lubang besar yang belum terjelaskan dan kita meloncati hal itu bersama-sama," kata Okky. "Sejarah yang tidak diberikan penjelasan, untuk mengakui kebenaran pada peristiwa 1965 saja kita belum, apalagi menjadikan ini pelajaran."
Sementara di negeri lain seperti Jerman, dimana peristiwa Holocaust terjadi. Generasi penerus bangsa Jerman terus dibekali dengan sejarah kelam mereka, agar tidak mengulangi hal ini di masa sekarang dan masa depan.
Kekejaman Nazi dibuka lebar, dikuliti sejarah hingga membuka banyak wacana yang terus berkembang dengan ragam perspektif baru. Ini diawali saat warga Jerman tidak keberatan untuk mengakui sejarah kelam ini.
(utw/utw)











































