Banyak sekali cerita-cerita selama perempuan itu hidup. Jatuh cinta, mencintai, mempertahankan kehormatan dan keperawanan, bahkan memenuhi hasrat untuk tampil menarik. Namun di balik itu semua perempuan tetaplah perempuan yang harus menjadi perempuan.
Kisah perjalanan dan potret kehidupan perempuan dicoretkan dalam kanvas oleh 13 perempaun perupa. Hasilnya kemudian dipamerkan dan didedikasikan untuk tokoh perempuan pelukis Emiria Soemassa. Pemeran bersama itu digelar di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah hingga 23 April 2011.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan juga mempunyai pandangan luas untuk menghadapi pesoalan hidup. Bahkan seluas cakrawala untuk menghadapi hujan badai getir kehidupan. Tigabelas perupa yang memerkan karyanya adalah Tiarma Sirait, Iriantine Karnaya, Dyan Anggraini, Dolorosa Sinaga, Yani Mariani, Laksmi Shitaresmi, Indah Arsyad, Arahmaiani, Graziella Sara Renjani, Tris Neddy Santo, Wara Anindyah, Neneng S Ferrier, dan Lydia Poetrie.
Mereka menyuguhkan berbagai realita yang terjadi pada perempuan. Sebut saja 'Its Me' milik Dyan Anggraini yang melukiskan sosok manusia berbadan kekar berdiri memakai bikini. Kepalanya digambarkan sebagai perempuan dengan rambut terkuncir dan mengenakan topeng.Β Perempuan berbadan kekar itu hendak melawan monster dari mitologi Jawa.
Pada sisi lain, ada perempuan yang tidak pernah puas dengan bentuk dan penampilan tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Perempuan itu selalu ingin 'menyempurnakan' bagian tubuhnya dengan rekayasa operasi. Indah Arsyad menggambarkan realita perempuan seperti itu dengan lukisannya berjudul 'Reparation'.
Untuk menjawab berbagai kriteria tentang sosok perempuan ideal, Neneng S Ferrier merespon dengan karya patung berjudul 'Lullaby'. Pada akhirnya, sebenarnya semua perempuan diciptakan cantik, namun tergantung bagaimana proses penerimaan kecantikan itu. Neneng pun menggambarkan ujung takdir seorang perempuan sempurna, yaitu dengan mempunyai keturunan.
Untuk gambaran perempuan modern, tengoklah karya Tiarma Sirait. Perempuan butuh bergaya dan menunjukkan identitas keindahannya. Hanya saja 'indah' itu relatif. Tiarma melihat perempuan secara utuh lewat lukisan 'Pink Goes to Beijing'. Perempuan berkulit cokelat kekuningan berlenggak-lenggok dengan baju pink. Membawa syal berbulu dan berkacamata pink, perempuan itu cuek bergaya di tengah keramaian 'hitam putih'.
Semua karya lukis dan rupa yang ditampilkan itu dipersembahkan untuk Emiria Soemassa, seorang pelukis perempuan era 1930-an. Emiria saat itu tampil sebagai sosok perintis saat 'takdir' perempuan masih terkungkung di dapur. Namun dengan lukisannya, ia menggambarkan hak perempuan seutuhnya kala itu.
(ebi/mmu)