Dengan rendah hati, ia menyebut penonton sebagai orang yang datang untuk "berbagi musik", dan untuk itu ia mengucapkan terimakasih. Dalam keremangan lampu panggung, wajah Kitaro tampak lebih tua daripada umurnya. Rambutnya dibiarkan tergerai di punggung, menjuntai, kadang berkibar. Ia mengenakan baju yang memanjang sampai ke mata kakinya.
Setelah memainkan tiga lagu dari album-album barunya yang mungkin sudah tak dikenal lagi oleh penggemar lamanya, Kitaro membuat penonton berseru girang dengan lagu 'Caravan'. Ini adalah salah satu lagu lamanya yang telah jadi abadi. Tapi, Kitaro menyebutnya sebagai lagu baru, karena lagu itu dimainkan malam itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikenal sebagai musisi pengusung new age, dengan style yang kontemplatif, Kitaro yang belakangan menetap di Amerika adalah musisi "kotemporer" yang relatif diterima kalangan luas. Musiknya lebih mengandalkan rasa dan "mood" ketimbang komposisi sehingga mudah dinikmati. Ini berbeda dengan musisi komtemporer umumnya yang berpretensi "high art".
Kini, pada zaman ketika pelatihan dan motivasi menjadi "bisnis kesuksesan" di mana-mana, musik Kitaro adalah salah satu alat bantu, seperti yang dipraktikkan oleh ESQ-nya Ary Ginanjar. Tidak hanya itu, di ruang-ruang latihan yoga, reiki, meditasi dan gaya hidup sehat lainnya, musik Kitaro adalah medium untuk mencapai puncak ketenangan jiwa.
Generasi baru sekarang mungkin lebih mengenal Kitaro lewat album-album kompilasi bertajuk "Chill Out", "Asian Cafe" ataupun "Voyage" semacam itu. Banyak yang bilang bahwa musik Kitaro hanya cocok untuk didengarkan, dan tidak untuk disaksikan dalam sebuah pertunjukan konser. Namun, malam itu, Kitaro membuktikan bahwa musiknya tetap spektakuler disaksikan secara live.
Konser berharga tiket antara Rp 500 ribu hingga Rp 4 juta itu merupakan bagian dari rangkaian dari "Kitaro World Tour 2011". Selama dua jam, Kitaro membawakan 10 lagu, plus satu lagu bonus. Banyak lagu hit-nya yang mungkin palin ditunggu penonton, ternyata justru tidak dimainkan. Seperti 'Silk Road', 'Sundance' atau pun 'Koi'. Dari salah satu sudut terdengar teriakan meminta lagu 'The Light of the Spirit'.
'Caravan', ditambah dengan 'Heaven and Earth' dan 'Matsuri' rupanya belum cukup memenuhi hasrat penonton untuk mendapatkan kepuasan maksimal dari konser musisi idola mereka. Sebagian dari mereka adalah penggemar yang sudah menyaksikan konser Kitaro pada 1996, dan sebagian lagu adalah penggemar yang kala itu masih jadi aktivis mahasiswa atau pendaki gunung, yang kini sudah menjadi brand manager yang sukses.
Dengan lighting yang teatrikal, termasuk gaya Kitaro sendiri yang dinamis, lincah, berpindah-pindah-pindah dari satu alat musik ke alat musik lain, secara umum konser malam itu boleh dibilang kurang memuaskan. Setiap lagu dibawakan nyaris tanpa ekspresi yang baru, dan diselesaikan dengan agak buru-buru. Lagu 'Matsuri' yang panjang berliku, memang tetap terasa "nyes", tapi kok ya seperti ada yang kurang.
Mungkin seiring dengan bertambahnya usia (Kitaro lahir pada 1953), energi sang maestro memang sudah berkurang. Penonton pun, yang sebagian besar juga sudah berumur, tampaknya tak terlalu ingin pulang malam, sehingga meskipun konser terasa berakhir terlalu cepat, tak ada teriakan 'more, more'. Mereka lebih memilih untuk segera menyerbu menyerbu meja penjualan CD Kitaro di lobi, untuk didengarkan di rumah, sampai puas.
(mmu/mmu)