Kondisi ini tampak lumrah terjadi, apalagi menjelang tahun baru Imlek. Di sana, bisa terdapat ratusan pengemis memadati halaman kelenteng.
Ini adalah kelenteng tertua yang ada di Jakarta. Usianya sudah menginjak lebih dari 360 tahun. "Awalnya kelenteng ini bernama Kim Tek Ie yang artinya kebajikan emas," ujar pengurus kelenteng, Yu Ie, kepada detikHOT, Kamis (23/1/2014) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini juga menjadi salah satu kelenteng yang terbesar di Jakarta, selain yang di Ancol," ujar pria berusia 37 tahun ini. Setiap kali tanggal 1 Imlek, gubernur DKI Jakarta pasti datang mengunjunginya.
Ketika pemilihan umum gubernur tahun lalu, Fauzi Bowo pun mendatanginya. "Pak Jokowi juga datang ke sini setelah jadi gubernur," kata Yu Ie.
Di depan kelenteng, kita akan disuguhi pemandangan sepasang singa atau bao gu shi). Mereka dianggap sebagai penunggu kelenteng dari abad ke 18 yang berasal dari propinsi Kwangtung, Tiongkok Selatan.
Pintu utama dihiasi oleh dua jendela persegi yang penuh dengan ukiran motif binatang dan bunga teratai. Jendelanya berbentuk bulat dengan ukiran makhluk sakti Qi Lin (kuda bercula satu).
"Qi Lin ini artinya keberuntungan yang besar," katanya. Ditambah dengan ukiran sepasang lentera yang dilukis gambar naga dan burung hong.
Baru di pintu utama, arca Giok Hong Siong Te atau Dewa Pertama Alam Langit, atau Dewata Tertinggi penguasa alam di kelenteng ini menyambut para pengunjung maupun yang ingin sembahyang. Di depannya terdapat hio-hio yang sudah dibakar untuk alat sembahyang.
Di sisi kanan pintu utama terdapat meja tempat jual beli hio maupun perlengkapan sembahyang. Sedangkan di sisi kirinya tampak bedug tua menggantung di atas langit-langit.
"Ketika pergantian tahun baru sampai jam 12 malam apalagi paginya tanggal 1, yang sembahyang masih ramai sekali. Malamnya juga padat dan sekitar kelenteng pasti macet," kata Yu Ie.
Kelenteng yang berada di Jalan Kemenangan 3 atau berada di wilayah Petak 9 ini didirikan sekitar tahun 1650 dan berada di luar tembok Kota (pemerintahan Batavia kala itu). Konon, dahulunya ini adalah rumah seorang kapten Tionghoa bernama Kwee Hoen.
Atap kelenteng tetap menggunakan genteng berwarna coklat laiknya bangunan tua di Jakarta. Di sisi kanan dan kirinya dihiasi oleh sepasang naga yang sedang merebut sebutir mutiara. Keseluruhan warna di kelenteng ini berwarna merah dan kuning.
Jin de Yuan juga dikenal salah satu dari empat kelenteng yang besar yang dikelola oleh Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Mereka adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin Deyuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng yang sekarang sudah musnah.
(tia/utw)