'Di Timur Matahari': Impian Perdamaian di Lembah Tiom

'Di Timur Matahari': Impian Perdamaian di Lembah Tiom

- detikHot
Jumat, 15 Jun 2012 16:17 WIB
Jakarta - Desa perbukitan Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, Papua siang itu seperti tak ada kehidupan. Tiba-tiba sebuah suara musik tradisional yang mengalun dari bibir seorang lelaki tua memecah kesunyian. Tak jauh darinya kemudian tertangkap pemandangan lain: seorang bocah berdiri di tengah lembah, seperti berdoa, seperti menunggu.

Agak lama kemudian, bocah berseragam merah-putih yang kedodoran dan lusuh itu kemudian berlari kencang menyusuri padang, dan memasuki sebuah gubug yang ternyata adalah ruangan kelas. Di hadapan teman-temannya yang duduk rapi di bangku masing-masing, bocah itu berseru dengan nada sedih, "Teman-teman, guru pengganti belum juga datang."

Kelas pun senyap. Tapi tak lama. Bocah itu berkata lagi, kali ini sambil tersenyum, "Ya sudah, kita belajar menyanyi saja!" Dan, gemuruh tawa riang pun menyambut ajakan itu. Bocah-bocah tanpa alas kaki itu, sebagian tidak berseragam, menghambur ke luar kelas, bergandeng tangan menyanyikan 'Hymne Guru'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan pembukaan seperti itu, karya terbaru Alenia Pictures berjudul 'Di Timur Matahari' ini barangkali belum apa-apa sudah bikin mewek. Eksotika alam Indonesia Timur yang dikontraskan dengan bocah-bocah polos yang hidup dalam penderitaan (bahasa halusnya: tak seberuntung saudara-suadara mereka di Jakarta), yang selalu menjadi sajian film-film produksi duet produser Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, memang tak pernah gagal menyedot simpati.

Kali ini, kita diperkenalkan dengan Mazmur (Simson Sikoway) dan 4 kawannya, Thomas (Abetnego Yogibalom), Suryani, Agnes, dan Yoakim yang sudah 6 minggu tak punya guru. Dari dunia bocah yang hanya kenal bernyanyi dan bermain ini, penonton kemudian diajak memasuki apa yang selama ini dibahasakan oleh media massa Jakarta sebagai "konflik Papua". Bagi kita yang pada umumnya harus diakui tak banyak tahu tentang Papua, film ini bisa menjadi pengantar untuk memahami masyarakat di provinsi paling Timur Indonesia itu.

Konflik pertama muncul dari kehadiran pendatang, yang diwakili oleh Ucok (Ringgo Agus Rahman) yang baru sebulan bekerja di Papua. Ucok yang menabrak Mazmur harus berhadapan dengan urusan denda adat. Konflik kedua datang dari relasi antarsesama penduduk Papua sendiri, yakni ketika ayah Mazmur ditipu orang dan berujung pada konflik berdarah yang berkepanjangan. Di tengah itu muncul konflik-konflik "sampingan", seperti masuknya handphone yang mengubah perilaku anak-anak muda.

Dibandingkan misalnya dengan 'Tanah Air Beta' (Ari Sihasale, 2010) yang demikian fokus dan utuh sehingga meninggalkan kesan yang mendalam, 'Di Timur Matahari' memang agak sempoyongan menuturkan apa yang hendak disampaikannya. Berbagai konflik dimunculkan, namun tak menyatu sehingga film ini terasa seperti sebuah kumpulan sketsa. Kebingungan film ini terasa sejak awal, ketika sampai hampir 30 menit alur berjalan, kita masih belum menemukan, mau di bawa ke mana film ini.

Di satu sisi efek positifnya memang ada: begitu konflik itu meledak, daya kejutnyajadi terasa maksimal. Namun, setelah itu, film ini seperti berputar-putar dan kehilangan pegangan bagaimana harus mengakhirinya. Penyelesaian kemudian terasa dipaksakan, lewat sebuah adegan yang terasa lebih simbolik ketimbang riil, dan tak meyakinkan. Mungkin, memang begitulah gambaran kenyataannya, bahwa mengatasi konflik di Papua sudah ibarat menegakkan benang basah, sehingga setiap upaya untuk menciptakan perdamaian masih sebatas impian.

Yang menarik, Ari Sihasale sebagai sutradara, dan Jeremias Nyangoen (sebelumnya dikenal sebagai pemeran Sumanto dalam 'Kanibal Sumanto', 2004) sebagai penulis skenarionya tak melupakan esensi paling mendesak dari subjek Papua, yakni "status" hubungannya dengan Jakarta. Kehadiran Jakarta, yang mewakili NKRI, diwakili oleh tokoh Mike (diperankan oleh Mike 'Idol') dan istrinya, Vina (Laura Basuki).

Mike yang tak lain adalah saudara dari ayah Mazmur, yang bekerja di Jakarta, dipanggil pulang untuk ikut menyelesaikan konflik yang terjadi. Konflik antarkeluarga, dan juga antarsuku itu memang tak lantas serta-merta membuat film ini memasuki isu politik hubungan Papua dengan Jakarta yang kerap memanas. Pun, konflik yang disebabkan oleh kehadiran korporasi, yang diwakili sosok Ucok, terasa serba samar. Selebihnya, film ini main aman dengan tanpa menyinggung isu separatisme, seperti pernah dilakukan Garin Nugroho lewat 'Aku Ingin Menciumu Sekali Saja'.

Konflik-konflik itu pun lebih sering dihadirkan secara verbal, sebagai isi obrolan, misalnya ketika polisi mengingatkan Ucok bahwa belum lama ini ada penembakan, dan Vina yang terkaget-kaget dengan mahalnya harga barang-barang kebutuhan, lalu nyeletuk, "Gimana nggak pada minta merdeka!" Namun, sinematografi yang cantik, dan akting bocah-bocah asli Papua yang ciamik memberi nilai lain bagi film ini. Ditambah, kapan lagi menyaksikan Laura Basuki dengan wajah putih berkilaunya itu bersimpuh di tanah menanam ketela, atau bermain dengan anak-anak Papua sambil mengepit totebag LV.


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads