Bukan Henry Manampiring namanya, yang lihai merangkai kata-kata dengan konsep Filsafat kuno namun diramu menjadi ringan. Layaknya buku fiksi, pria lulusan Ekonomi dari Universitas Padjajaran (UNPAD) itu sukses menerbitkan 7 buku dan 6 di antaranya adalah bergenre non-fiksi.
Henry Menampiring menjelaskan ada banyak hal di luar kendalinya selain proses kreatif.
"Di belakang buku yang lagi populer dan dibahas netizen, atau banyak seleb Instagram yang membahas, saya percaya banyak buku bagus yang tidak populer. Yang (mungkin saja) tidak pas atau waktunya belum (populer)," terang Henry ketika menyambangi kantor detikcom pada Kamis (14/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama puluhan tahun menjadi penulis, Henry mengaku tak pernah punya formula yang pas dalam menulis. Tapi ada beberapa hal yang konsisten digarapnya selama ini.
"Saya selalu konsisten dan menulis dengan bahasa yang sederhana. Mereka (pembaca) selalu bilang, temanya kayaknya susah tapi bahasanya sederhana," terangnya.
"Sebisa mungkin juga ada humor. Saya selalu menyelipkan bercandaan, ada jokes. Humor. Hal ketiga, selalu ada ilustrasinya, jangan sampai hanya teks saja," lanjut Henry.
Di awal karier, Henry mengatakan dia memang tertarik menulis di laman blog. Dia pun eksis menjadi blogger, tapi menelisik jauh ke masa kecilnya ia sudah senang belajar mengarang dan menulis sejak kelas 4 SD.
Bibit menjadi seorang penulis sudah ada sejak dahulu. Ketika pelajaran bahasa Inggris, Henry sudah senang menulis dalam esai bahasa Inggris. Ketika era blog merajai di Indonesia, ia semakin produktif menulis.
"Tapi belum mimpi sih buat jadi penulis buku, ya saya cuma nge-blog saja lah. Iseng-iseng saja, baru tahun 2012 penerbit Kompas melirik blog saya dan diterbitkan, jadi sebenarnya perjalanan sampai ke buku pertama terbit itu panjang sekali," tuturnya.
Ketika buku pertamanya terbit Cinta Tak Harus Mati sampai buku kedua rilis, baru The Alpha Girl's Guide menjadi mega bestseller. Menurutnya, buku itu juga ditolong oleh fenomena TikTok, terbit sejak 2015 namun baru populer tahun lalu.
Filosofi Teras pun sukses di industri buku Indonesia hingga dicetak sampai 54 kali di penghujung tahun.
"Saya terbit total 7 buku, 6 di antaranya non-fiksi. Dilihat dari jumlahnya saja buku pengembangan diri. Saya nggak punya cita-cita menulis buku pengembangan diri, menjadi penulis saat ketiban wangsit, ya mau nulis itu. Dua buku non-fiksi terakhir saya, kebetulan lagi filsafat," tukasnya.
(tia/ass)