Fenomena penghapusan mural di kota-kota besar Indonesia menjadi pembicaraan yang masih bergulir. Dimulai dari mural 'Tuhan Aku Lapar', 404: Not Found, 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' sampai 'Dibungkam' di bawah Jembatan Kewek Yogyakarta, seakan tak berhenti untuk dihapus.
Kalimat satir 'Tuhan Aku Lapar' yang viral di jagat maya akhir Juli lalu menjadi pemula untuk rentetan peristiwa penghapusan mural lainnya. Seniman semakin eksis dan mural muatan kritikan pun kian menjamur.
Salah satunya berasal dari Halfway Street Connection (HSC) Forum yang berdiri pada 2017 dan pembuat mural 'Tuhan Aku Lapar'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kalimat sentilan 'Tuhan Aku Lapar' sebagai respons masyarakat di tengah pandemi, mereka berbagi cerita kepada detikcom mengenai karya yang viral tersebut serta di balik ceritanya.
Pembuatan mural 'Tuhan Aku Lapar' bermula dari ide forum yang ingin membuat karya Indonesia saat ini. Kalimat itu mewakili aspirasi karena terdampak segi ekonomi, sandang, maupun papan, karena pandemi yang tak kunjung usai.
"Bagaimana banyak orang yang harus bertahan sekuat tenaga sampai tak sedikit yg harus merelakan kehilangan keluarganya," ungkap anggota HSC Forum, Ohaiyoh, saat dihubungi detikcom, belum lama ini.
Pada 17 Juli malam hari, HSC Forum pu memilih lokasi yang sudah biasa menjadi tempat menggambar.
"Di pertigaan katomas, Tigaraksa. Dimana tempat tersebut kami anggap tempat strategis untuk menyuarakan aspirasi kami melalui karya, tanpa harus berbondong-bondong membuat kerumunan di jalan," katanya.
Di malam itu juga, mural pun selesai digarap oleh anggota forum. Beberapa hari berikutnya ketika selesai diunggah dan viral, malam itu juga muralnya dihapus aparat.
"Tengah malamnya anggota kami ada yg disambangi rumahnya untuk diminta datang ke polsek untuk membuat keterangan. Beberapa dari kami datang ke Polsek setempat, sekitar 5-6 orang anggota HSC. Mulai jam 11 malam sampai jam setengah 3 pagi kami di Polsek dan disuruh membuat video untuk klarifikasi, katanya hanya untuk arsip kepolisian saja," katanya.
Tapi dari arsip itu ternyata dipublikasikan ke media, lanjut Ohaiyoh, seakan narasinya adalah HSC Forum melanggar kejahatan.
Bahkan esok harinya dua orang anggota didatangi perangkat desa dengan dalih ada bantuan sosial (bansos) dan didokumentasikan.
"Kelanjutannya seperti yang sudah banyak media memberitakan bahwa aparat memberikan bansos seakan-akan kami yang merasa kelaparan. Kejadian ini membuat kami sebagai seniman sangat tertekan karena merasa disudutkan," lanjut Ohaiyoh.
Bagaimana kelanjutan Ohaiyoh soal 'Tuhan Aku Lapar' dan sepak terjang HSC Forum dalam dunia grafiti dan street art? Spotlight culture detikcom bakal membahas tentang hal itu semua serta fenomena penghapusan mural.
Baca artikel berikutnya ya!
(tia/dar)