Awalnya novel 'Bumi Manusia' hanya diceritakan secara lisan di tahun 1973 silam. Cerita mengenai Nyai Ontosoroh dibacakan Pram dari mulut ke mulut kepada teman-teman sesama tahanan di Pulau Buru.
"Di pembuangan Pulau Buru, banyak tapol yang mengalami tekanan luar biasa. Ada yang bunuh diri, ada yang nyari-nyari masalah sama aparat biar sengaja dibunuh. Lain cara-caranya itu. Di situ Pak Pram menceritakan tentang 'Bumi Manusia'," tutur cucu Pram, Angga Okta ketika mengobrol dengan detikHOT di kediaman Pram, kawasan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta Toer |
![]() |
Salah satu cara Pram untuk membangkitkan semangat para tapol agar tidak kehilangan akalnya adalah dengan membacakan 'Bumi Manusia'. Hal yang sama diungkap oleh putri Pram, Astuti Ananta Toer.
"Pak Pram memberikan bacaannya dengan mengarang karakter Nyai Ontosoroh. Pak Pram bilang, 'kalian itu bagaimana sebagai seorang laki-laki, apakah kalian tidak maulu terhadap seorang perempuan. Dari yang tidak bisa apa-apa menjadi seorang yang hebat'," tutur Astuti menceritakan kisah di balik karakter Nyai Ontosoroh.
"Apakah kalian sebagai laki-laki tidak malu terhadap Nyai Ontosoroh. Mereka semangatnya mulai bangkit dengan perasaan oh saya harus kembali untuk keluarga saya," lanjut Astuti lagi.
Novel 'Bumi Manusia' menjadi pembuka dari Tetralogi Buru. Setelahnya ada 'Anak Semua Bangsa', 'Jejak Langkah', dan 'Rumah Kaca'.
"Pak Pram selalu ngomong, kalau orang yang membaca bukumu hatinya tergerak menjadi berani dan kuat, berarti sebagai pengarang sudah berhasil," tukasnya.
(tia/nu2)