Mempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta Toer

Mempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta Toer

Tia Agnes - detikHot
Rabu, 07 Agu 2019 13:30 WIB
Foto: Tia Agnes
Jakarta - Siapa yang tak mengenal nama sastrawan Pramoedya Ananta Toer? Sosoknya begitu dielukan bagi para Pramis (fans Pram) namun juga dikritik habis-habisan oleh orang-orang yang kontra terhadap Pram.

Pendirian teguh penulis 'Bumi Manusia' membuat Pram merasakan jeruji besi. Selama 10 tahun, Pram mendekam di Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi tahanan politik (tapol) oleh Orde Baru, sebelumnya Pram juga ditahan pada 1947 dan 1960-an.

Lebih dari 50 karya berhasil diterbitkan dan diterjemahkan ke puluhan bahasa. Nama sastrawan Pramoedya Ananta Toer telah melegenda. Banyak yang bilang, perjalanan karya-karya Pram sama halnya dengan sejarah Indonesia dari era kolonial Jepang, Belanda, masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini generasi milenial bisa kembali mengenal dan mempelajari karya-karya Pram lewat bentuk yang berbeda. Sukses diadaptasi ke seni pertunjukan dan pameran arsip oleh Titimangsa Foundation, 'jiwa' Pram hadir kembali melalui film 'Bumi Manusia' dan 'Perburuan' (Falcon Pictures) yang tayang 15 Agustus 2019.


Mempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta ToerMempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta Toer Foto: Haykal/detikcom


Tim detikHOT dan 20Detik berkesempatan menyambangi kediaman Pram, tempat peristirahatan sebelum mengembuskan nafas terakhir pada 30 April 2006. Di rumah yang berada di Jalan Utan Multikarya II, Utan Kayu, Jakarta Timur, anak Pram, Astuti Ananta Toer, bersama kedua cucu Pram, Angga Okta dan Rova Rivani, menerima kedatangan kami.

Rumah yang asri dan sederhana itu masih memajang beberapa peninggalan Pram. Beberapa potret Pram, sketsa, nisan lama, foto bersama keluarga hingga lukisan orang tua Pram masih digantung.

"Rumah ini ditinggali sama anak bungsu Pak Pram, saya tinggal di Bojong Gede, mengurusi perpustakaan. Jadi masih ada koleksi Papa di sini dan barang-barang peninggalannya," ujar Astuti Ananta Toer, Sabtu (3/8/2019).

Astuti menuturkan sifat ayahnya yang keras dan teguh pendirian sangat menyayangi keluarga. Sambil berkelakar dan antusias menjelaskan, Astuti menceritakan awal mula rencana adaptasi 'Bumi Manusia' dan 'Perburuan' ke film.

Mempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta ToerMempopulerkan Kembali Pramoedya Ananta Toer Foto: Haykal/detikcom




"Waktu Pak Pram pulang dari Pulau Buru, ada Oliver Stone yang ingin membuat film 'Bumi Manusia'. Tiba-tiba ada Bola Dunia. Pak Pram beranggapan kalau ada orang Indonesia yang berani membuat film, saya akan berikan," jelas Astuti.

Saat itu, diakui Astuti, tawaran dari sutradara AS itu sangat besar sekali. Namun tawaran dari Bola Dunia terputus akhirnya pada 2004 jatuh kepada Elang Prakasa yang akhirnya menandatangani kontrak pembuatan film.

"Sebelum adanya dua film ini, kami dari keluarga suka menyambangi satu per satu sekolah dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) untuk mengenalkan karya sastra Opa (Pram) dan sejarah-sejarah Indonesia, tapi kami juga berpikir ini bukan cara efektif dan efisien," tambah Angga Okta.

Perjalanan panjang 'Bumi Manusia' dan 'Perburuan' sampai menjadi sebuah film yang bakal tayang serentak 15 Agustus itu terbilang panjang. Suka duka hingga kontroversi yang terjadi tak membuat keluarga Pram gentar menggiring kehadiran 'Bumi Manusia' dan 'Perburuan'.

Kali ini detikHOT bakal membahas mengenai sudut pandang Pram terhadap film, perjalanan panjang 'Bumi Manusia' dan 'Perburuan' hingga diadaptasi ke layar lebar. Simak artikel berikutnya!





(tia/dar)

Hide Ads