Puisi-puisi yang ditulisnya merupakan perpaduan antara fiksi maupun kenyataan. Kolaborasi tersebut yang menjadi kelebihan bagi karya pria kelahiran 1995 tersebut.
"Saya hadirkan antara fiksi dan kenyataan. Misalnya di sajak 'Matinya Labai Mutaah' terinspirasi dari kejadian di kampungnya, ada orang tua yang tinggal sendirian di masjid. Waktu meninggal nggak ada yang mau bantuin, saya juga nggak tahu itu orang Minang atau bukan," jelas Andre ketika berbincang dengan detikHOT.
Kalau ada masyarakat dari suku Piliang meninggal dunia, tidak diperbolehkan dikuburkan di lahan pemakaman suku lainnya.
![]() |
"Artinya hanya orang dari suku saya saja, bahkan ayah kandung saya saja tidak boleh dimakamkan di situ. Istilahnya 'mandang kuburan'," ujarnya.
Ia kembali menceritakan mengenai kepercayaan orang Minang yang percaya dengan 'tambo'. Namun dalam karya yang dituliskan Andre, ia memasukkan dengan sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh fiki tertentu.
"Jadi saya mencoba mengangkat mitos dan legenda juga yang ada di suku Minang.
Setelah menerbitkan buku antologi 'Jagaditha' yang masuk dalam program penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018 dan 'Suara Murai' (KPG, 2018), Andre akan tetap menulis puisi dan cerpen.
"Saya tetap menulis, saya tidak ingin cuma dikira aji mumpung saja. Ini memang berbuah dari UWRF, gara-gara menang itu saya mau menulis lebih banyak lagi, mau membuktikan bukan gara-gara menang saja," pungkasnya.
(tia/ken)