Sejak usia 16 tahun, Clarissa pindah ke Singapura untuk kuliah dan menetap tinggal di sana. Anak pertama dari tiga bersaudara itu sedari kecil memang suka menulis dan membaca beragam buku.
Menjadi seorang penulis merupakan impian masa kecil, namun ketika remaja ia menyadari ingin bekerja dengan profesi yang lebih realistis. "Saya kerja jadi marketing, kerja di bank dan suatu hari saya hamil dan kondisi kesehataan kurang baik, sehingga suami bilang tidak usah kerja dulu," tuturnya ketika mengobrol dengan detikHOT di ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantaran menganggur dan merasa tak ada kerjaan di rumah, impian masa kecilnya pun muncul. Dia pun memiliki seorang mentor menulis yang memintanya untuk mengirimkan karya 'Rainbirds' ke penyelenggara Bath Novel Award pada 2015 silam.
"Saya merasa, ah tidak mungkin menang. Palingan hanya habisin uang pendaftaran saja. Aku nurut saja sama mentor saya buat nunjukkin kalau saya nggak mungkin menang. Pas menang, saya bilang you change my life. Benar-benar hidup saya berubah," tuturnya berkaca-kaca.
![]() |
Di setiap obrolan dengan detikHOT, gaya berbicara Clarissa selalu bersemangat. Khususnya ketika menceritakan pengalaman yang mengubah hidupnya tersebut.
"Itu adalah satu keputusan yang mengubah hidupku. Saya juga berpikir, mungkin dengan menang award maka akan mudah mendapatkan agen, mudah dilirik. Tapi itu juga butuh effort," tutur penulis yang mengidolai Haruki Murakami dan Death Note tersebut.
Dia pun menambahkan, "Saya merasa beruntung sekali menang award dan sekarang rencana diterjemahkan ke 10 bahasa. Tapi saya juga banyak ditolakin lho, ditolak dalam artian email saya didiemkan oleh agen sastra. Kebanyakan agen tidak menjawab email, ya maksudnya ditolak secara halus," katanya tertawa.
![]() |
Selama hampir 10 bulan, Clarissa mencari agen yang mampu mempromosikan karyanya hingga dikenal dunia. Setelah satu agen menghubunginya, agen lainnya pun mulai muncul dengan beragam tawaran. Akhirnya pilihan jatuh kepada Pontas Agency yang menurut Clarissa, ia merasa punya 'koneksi khusus'.
"Agen saya ini passion banget sama suara perempuan, diversity, dan agennya novel Pramoedya Ananta Toer. I felt connected," pungkasnya.
Bagaimana cerita berikutnya dari Clarissa Goenawan? Simak artikel berikutnya.
(tia/nu2)