Sama halnya dengan Ace House Collective yang berdiri 2011 silam di Yogyakarta. Saat itu, sekumpulan seniman muda yang memiliki kesamaan minat atau pendekatan dengan budaya populer memutuskan mendirikan Ace House Collective.
Hendra 'Hehe' Harsono salah satu pendiri Ace House Collective mengungkapkannya pada detikHOT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap ada pameran kita selalu bilang ke masyarakat yang berjualan atau makan di angkringan, mas kok ndak ke pameran. Mereka bilang, aku nggak paham seni-senian. Menurut kita jadi aneh, secara kolektif kami bertanya-tanya kalau ruang seni sebagai ruang publik ternyata masih ada sekat yang kelihatan," tuturnya ketika berbincang di Ace House Collective belum lama ini.
![]() |
Dari satu contoh peristiwa itu, Ace House Collective mulai memikirkan aneka project yang bisa dihadiri oleh publik umum.
"Kecendrungan ruang seni itu yang white cube, tapi kalau di Yogyakarta selalu menyewa kontrakan dan mau tidak mau berhubungan dengan tetangga," kata seniman yang pertama kali menggelar pameran tunggal pada 2007 tersebut.
Ia menyebutkan kecendrungan tersebut tentunya berbeda dengan Jakarta yang masih ada bentukan galeri 'white cube' atau mengambil lokasi di kawasan kafe kenamaan. "Kalau Singapura kan ada Gillman Barracks. Di sini selalu pakai kontrakan, seperti ruang keluarga," lanjutnya lagi.
Lewat project Ace Mart yang dihadirkan Ace House, mereka percaya ruang publik itu bukan sekadar tempat berpameran.
"Tapi juga tempat nongkrong dan karena alasan itulah Ace Mart selalu ditunggu-tunggu publik dan pecinta seni," pungkasnya.
Simak artikel berikutnya.
(tia/tia)