"Kebanyakan buku tentang Indonesia malah ditulis oleh orang asing. Begitu banyak minat orang luar tapi stok buku kita yang sangat terbatas. Itu hal yang sangat miris," katanya ketika berbincang dengan detikHOT di sela-sela Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, belum lama ini.
"Bukan masalah siapa yang menulis, tapi perspektif kita yang pasti berbeda. Artinya bangsa kita didefinisikan menurut perspektif orang luar," lanjutnya lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas alasan tersebut, Agus mencoba memahami kembali apa makna nusantara, dan mencoba menelaahnya ke lima titik. Lokasi tersebut yang didatanginya sejak dua tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang ini.
"Tujuan saya adalah menambah khazanah, bagaimana memandang diri sendiri. Indonesia tuh bukan hanya persoalan geografis pulau dan hidup dalam pulau-pulau. Tapi dengan mengerjakan karya dan membagikan kisah atau sisi lain dari Indonesia, dan ditulis dari perspektif orang Indonesia," pungkasnya.
Buku pertama Agus diterbitkan pada 2010 dengan judul 'Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan'. Setahun kemudian, dia merilis karya 'Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah', dan buku ketiganya adalah'Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan'. Tahun lalu, catatan perjalanan dengan gaya memoar diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul 'Ground Zero: When the Journey Takes You Home'.
Agus juga telah menterjemahkan novel sastra Tiongkok ke dalam bahasa Inggris yang merupakan karangan Yu Hua. Yakni 'To Live' dan 'Chronicle of a Blood Merchant'.
Simak artikel berikutnya!
(tia/mmu)