Persoalan royalti masih menjadi perdebatan oleh sebagian para pegiat musik. Salah satunya tentang penarikan dan pendistribusian royalti atas penggunaan karya musik seseorang.
Hal ini terjadi karena masih banyak para pegiat musik yang belum paham mekanisme pembagian royalti dan bahkan sebagian musisi ada yang tidak peduli terhadap haknya untuk mendapatkan royalti.
Menurut Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Marulam J Hutauruk, dalam memperoleh royalti dari hasil karyanya, seorang pegiat musik perlu mengerti dan mengetahui posisinya di dalam industri musik itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), ada tiga posisi seorang pegiat musik dalam mendapatkan royaltinya, yaitu sebagai Hak Pencipta, Hak Produser, dan Hak Pelaku Pertunjukkan.
"Di dalam musik ini ada yang disebut pencipta. Pencipta itu ada pencipta lirik, pencipta notasi dan lain-lain, itu perlu kita tahu. Atau posisi kita sebagai produser, atau kita sebagai pelaku pertunjukan. Posisi inilah yang perlu kita pahami," ujar Marulam dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/4/2020).
Saat Teleconference IP Talk From Home dengan tema 'Selling Your Music in Right Way' di kanal YouTube DJKI Kemenkumham, Jumat (24/04/2020), Marulam mengatakan dengan begitu seorang pegiat musik dapat mengetahui hak yang dimilikinya di dalam sebuah industri musik untuk mendapatkan royalti. Lalu setiap hak ekonomi yang didapatkan akan berbeda-beda tergantung apa yang melekat dengan karyanya.
"Seperti sebagai pencipta, hak yang kita dapatkan ada sembilan. Apabila posisi kita sebagai produser, maka hak yang didapat ada empat, dan kalau sebagai pelaku pertunjukan, hak yang didapat ada lima," tuturnya.
Di Pasal 9 UUHC Hak Ekonomi dari seorang Pencipta adalah Penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; Penerjemahan Ciptaan; Pengadaptasian, Pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; Pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan Penyewaan Ciptaan.
Sedangkan pada Pasal 24 UUHC, produser memiliki hak atas Penggandaan Fonogram; Pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya; Penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan Penyediaan atas Fonogram yang dapat diakses publik.
Bagi Pelaku Pertunjukan, haknya diatur di pasal 23 yaitu meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan penyiaran atau komunikasi atas pertunjukan pelaku pertunjukan, fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi, penggandaan atas fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun, pendistribusian atas fiksasi pertunjukan atau salinannya, penyewaan atas fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik, dan penyediaan atas fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik.
"Jadi kita perlu paham yang mana yang akan kita transaksikan. Tanpa kita pahami hak ini, maka kita akan kesulitan membuat perjanjian dalam suatu transaksi," pungkas Marulam.
Di sisi lain, maraknya pelanggaran hak cipta mulai seperti mutilasi lagu tanpa izin pemilik hak cipta dan plagiarisme membuat pelantun lagu Dealova Once Mekel prihatin. Menurut Once, dalam membuat sebuah lagu, seseorang perlu menciptakan elemen-elemen yang khas di lagunya agar tidak dianggap plagiat.
"Terinspirasi lagu orang lain itu sangat boleh, dan itu sangat berbeda dengan plagiarisme atau peniruan, dan itu wajar-wajar saja," ucapnya.
Lebih lanjut Once mengatakan saat ini sudah tidak ada lagi batasan-batasan dalam membuat sebuah lagu seperti yang pernah ada di UUHC sebelumnya, yang menyatakan bahwa sebuah karya cipta lagu tidak boleh menyerupai lagu lain sebanyak delapan bar.
"Aturan saat ini yang saya ketahui bahwa harus ada elemen-elemen dari sebuah sebuah lagu yang sangat khas," ujarnya.
(prf/ega)