Joker: Asal Mula Si Badut Gila

Joker: Asal Mula Si Badut Gila

Candra Aditya - detikHot
Rabu, 02 Okt 2019 12:48 WIB
Foto: Joker
Jakarta - Tidak ada yang lebih menyedihkan dari hidup Arthur Fleck (Joaquin Phoenix). Dia bekerja di Gotham City sebagai badut. Tentu saja dia harus menghadapi bocah-bocah remaja Gotham City yang iseng dengannya seperti mengambil papan propsnya untuk bekerja kemudian menghajarnya habis-habisan. Selain itu Arthur juga harus bertemu dengan pekerja sosial setiap saat untuk evaluasi. Arthur Fleck pernah masuk rumah sakit jiwa dan untuk tetap menjaga kewarasannya dia harus bertemu dengan pekerja sosial untuk mendapatkan obat-obatan yang dia butuhkan. Di masa yang akan datang Arthur akan menghadapi nasib yang lebih buruk ketika pemerintah memutuskan untuk memotong semua program sosial seperti free social worker.

Untuk membuat Arthur semakin merana, kita melihat bahwa Arthur mempunyai penyakit yang langka. Karena sesuatu dengan kepalanya, Arthur suka tertawa tidak terkendali. Dan dia membawa kartu kemana-mana untuk menjelaskan bahwa tawa ini adalah kondisi yang disebabkan oleh kondisinya bukan karena dia ingin tertawa setiap saat. Arthur tinggal sendirian di apartemen kumuh, jelek dengan lampu temaram dan lift yang rusak bersama ibunya (Frances Conroy). Hidupnya sungguh suram. Satu-satunya cahaya dalam hidupnya adalah acara TV Murray Franklin (Robert De Niro) yang dia tonton setiap malam. Dan mimpinya adalah masuk ke dalam acara tersebut sebagai stand up comedian.

Sebagai orang yang hanya memiliki suara-suara negatif dalam hidupnya, Arthur berusaha keras untuk tetap bertahan. Bagaimana pun caranya. Meskipun situasi tidak memungkinkan karena Gotham sedang rusuh-rusuhnya dan sepertinya semua orang membutuhkan outlet untuk berbuat onar, Arthur masih berusaha keras untuk menahan semua api dan tornado yang ada di dirinya untuk tetap ada di dalam. Kemudian tiga orang businessman menjadikannya bahan lelucon di dalam kereta. Dan itulah untuk pertama kalinya Arthur perlahan memudar dan personanya yang lain, Joker, muncul di permukaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Joker adalah tokoh yang sangat terkenal. Karena kisahnya yang sungguh memikat, dia menjadi salah satu penjahat dari dunia komik yang dikenal banyak orang. Karakternya sungguh kompleks. Dia tidak mempunyai kemampuan fisik yang keren. Atau bahkan mempunyai ilmu sihir yang sakti seperti Thanos. Tidak. Yang Joker punya hanyalah tawa dan otak yang sangat gila. Karena dia tidak bisa dikontrol dan susah ditebak, Joker menjadi salah satu penjahat paling iconic, paling menyeramkan sekaligus paling mengagumkan dalam sejarah komik superhero. Dan alasan ini cukup kuat untuk membuat Warner Bros. mempersembahkan film solo pertamanya.

Sudah ada tiga orang yang terkenal memerankan karakter iconic ini. Ada Jack Nicholson dari Batman versi Tim Burton yang sangat komikal tapi tetap menyeramkan. Ada Heath Ledger dari Batman versi Christopher Nolan yang sangat liar dan sangat buas. Lalu ada Jared Leto dari Suicide Squad karya David Ayer yang lebih seperti vokalis 30 Second To Mars sedang perform pas malam Halloween. Joker versi Joaquin Phoenix cukup berbeda.



Alasan pertama karena ini pertama kalinya Joker mendapatkan kesempatan untuk tampil di ceritanya sendiri. Dia tidak berbagi dengan superhero atau penjahat lain. Murni ini adalah one man show Joker. Dan karena itu kita mendapatkan kesempatan untuk melihat transformasi Joker dari salah satu manusia paling malang sedunia menjadi penjahat paling menyeramkan dalam sejarah film adaptasi komik.

Alasan kedua adalah karena Joker adalah film yang memang sengaja di-desain untuk Joaquin Phoenix. Dalam sebuah statement-nya, Todd Phillips, sutradara dan co-writer film ini, bilang bahwa tidak seperti kebanyakan dimana aktor masuk ke dunia film, yang terjadi dalam film ini adalah sebaiknya. Bagaimana dunia komik masuk ke dalam dunia Joaquin Phoenix. Kalau Anda familiar dengan film-film Joaquin Phoenix, Anda akan tahu betapa commit dan intense Joaquin Phoenix dalam berakting. Dia bisa menjadi orang yang paling menyebalkan sedunia dalam Gladiator, menjadi musisi Johnny Cash dalam Walk The Line, menjadi cowok yang termehek-mehek dengan sistem operasi dalam Her, menjadi pembunuh bayaran dalam You Were Never Really Here atau menjadi anggota sebuah cult dalam The Master. Apapun yang dilakukan oleh Joaquin Phoenix dalam berakting tidak pernah setengah-setengah. Dan itu juga terjadi dalam Joker. Menurut kabar, Phoenix kehilangan berat badan sampai dengan 23 kilo untuk menjadi Arthur Fleck dan Anda bisa melihatnya disini. Arthur Fleck nampak seperti tengkorak berjalan. Dan gerakan yang ditunjukkan Phoenix agak tidak masuk akal karena dia seperti seorang penyakitan yang sedang sakit parah.

Tapi itu hanya di luarnya saja. Anda bisa merasakan betapa sakit dan tidak enaknya suara-suara yang ada di dalam kepala Arthur karena Phoenix bisa menunjukkannya dalam satu kali tatap saja. Ketika dia tertawa-tawa, Anda tidak akan merasa lucu karena yang terasa justru rasa iba. Kasihan sekali dia, itu yang akan Anda pikir ketika melihat Arthur tertawa-tawa liar. Phoenix membuat Joker menjadi relatable dan ketika di akhir film dia melakukan kekacauan yang benar-benar masif, Anda akan berada di posisi yang sulit. Di satu sisi apa yang dilakukan Joker sangat jahat dan tidak berperikemanusiaan. Tapi di satu sisi menyaksikan Joker "menghukum" semua orang yang menyakitinya terasa sangat menyenangkan. Phoenix bisa memberikan itu semua.

Sayangnya penampilan Phoenix yang luar biasa tidak diimbangi dengan skrip dan penyutradaraan yang sama briliannya. Jangan salah sangka, Joker cukup apik. Dibandingkan dengan kebanyakan adaptasi komik, film ini bisa meluncur dengan mudah di posisi atas. Tapi sayangnya sebagai sebuah film character study, Todd Phillips dan Scott Silver tidak memberikan interpretasi lain yang inspiring. Apa yang Anda lihat, ya apa yang Anda dapat. Tidak ada nuance, tidak ada depth yang lebih. Bahkan tanpa mendengar referensi Todd Phillips, dari visual dan pengadeganannya serta editingnya, Anda akan bisa mudah menebak bahwa referensi Todd Phillips untuk film ini adalah film-film Martin Scorsese seperti Taxi Driver.

Visual yang dilukis oleh Lawrence Sher memang melenakan. Palet warnanya sungguh enak dilihat dan terasa sekali nuansa retronya. Film ini jauh lebih seperti film-film crime yang dirilis tahun 80-an daripada adaptasi komik. Dan scoring dari Hildur GuΓ°nadΓ³ttir cukup membuat jantung berdegup. Apalagi ketika Joker mulai bertingkah.

Di Amerika sendiri film Joker menjadi kontroversi karena dia seperti bersimpati kepada para mass murderer. Di negara yang mendapatkan senjata api segampang membeli gula di Transmart, sepertinya hal tersebut memang bisa menjadi isu. Pertanyaannya apakah para kriminal itu menjadi criminal karena memang meniru film-film seperti Joker atau justru memang Joker terinspirasi dari kisah para kriminal itu? Tidak ada yang tahu. Tapi sebagai sebuah hiburan dan adaptasi komik, tawa Joker yang liar adalah sebuah ledakan yang mengasyikkan.

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.


(dal/dal)

Hide Ads