Salah satu alasannya adalah karena Netflix layanan berbasiskan internet bukan frekuensi, serta berbayar, bukan tayangan yang bisa dinikmati cuma-cuma seperti televisi dan radio.
Menjawab hal tersebut, Ketua KPI, Agung Suprio, mengatakan bahwa Netflix sebenarnya mirip dengan televisi berlangganan.
"Netflix ini sebetulnya mirip dengan media penyiaran berlangganan. Cuma kalau media penyiaran berlangganan mediumnya frekuensi atau televisi kabel, kalau Netflix tidak, dia pakai internet. Cuma prinsipnya sama," ungkapnya pada detikHOT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang sama juga diterapkan KPI terhadap radio dan televisi konvensional. Saat ini ada aturan yang berbeda antara kanal televisi berlangganan dengan kanal televisi yang bisa dinikmati secara cuma-cuma.
"(Soal perbedaan regulasi) itu nanti teknisnya, sekarang pun yang free to air itu berbeda pengawasannya dengan yang berbayar," ujarnya.
"Tapi intinya, bahwa Netflix itu juga sebagai agen sosialisasi juga, itu yang kami akan awasi," sambungnya.
Video: Eksklusif! Ketua KPI Pusat Jelaskan Soal Pengawasan Netflix dan YouTube
Netflix sebenarnya juga telah memiliki fitur penyaringan tayangan sesuai dengan usia. Sehingga konten yang ditawarkan untuk penonton berusia anak tidak akan sama dengan penonton dewasa.
Fitur tersebut membuat banyak orang meyakini, KPI sudah tidak perlu lagi mengawasi Netflix atau layanan siar sejenis.
Akan tetapi bagi Agung, pihaknya tetap perlu melakukan pengawasan sebagai tindakan pencegahan.
"Saya mengapresiasi Netflix dan YouTube, anak kecil dibatasi tidak boleh menonton film dewasa, bahkan tayangannya itu bagus, berkualitas, namun demikian, ada kalanya kita pun lalai. Di situlah negara harus hadir," katanya. (srs/nu2)