Untuk menyeleksi para penulis, tim kurator JILF punya cara tersendiri. Kurator pameran Isyana Artharini menuturkan untuk menentukan penulis yang masuk, pihaknya berpikir apakah bukunya sudah diterjemahkan atau belum.
"Kami juga berpikir apakah penulis tersebut memenangkan penghargaan sastra di ranah internasional atau pernah menjalani residensi bergengsi," ujarnya saat ditemui di Balaikota DKI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun menambahkan, "Kami juga memikirkan oposisi dari negara yang belum pernah ada perwakilannya nih. Kita cari siapa karyanya yang diakui, siapa yang cocok dengan tema kita di negara tersebut. Kami juga memikirkan gender masing-masing agar seimbang."
JILF merupakan festival yang menitikberatkan pada pembacaan antarnegara Selatan. Festival ini memberikan kesempatan bagi karyanya, penulis, dan pembaca Tanah Air untuk saling mengenal.
"Kami ingin membawa ada pertukaran percakapan juga. Gimana kita lewat festival ini bisa membawa Jakarta jadi percakapan sastra internasional dengan tema yang relevan," tukasnya.
Di tahun pertama, JILF mengangkat tema sentral 'Pagar' untuk menghadirkan batasan-batasan yang semakin lebur akibat arus globalisasi. Konsep 'Pagar' tak hanya berbicara mengenai batas geografis sastra saja tapi juga pemeliharaan sastra lokal.
JILF 2019 berlangsung mulai 20-24 Agustus 2019 di kompleks Taman Ismail Marzuki, TIM, Jakarta Pusat.
(tia/nu2)