'Sureq Galigo' adalah wiracarita tentang mitos penciptaan suku Bugis yang diabadikan lewat tradisi lisan dan naskah. Bentuknya dalam syair puisi bahasa Bugis kuno yang ditulis pada abad ke-13 dan ke-15.
Sukses dipentaskan ke mancanegara selama 20 tahun, Yayasan Bali Purnanti memboyongnya ke Jakarta untuk kedua kalinya. Dalam versi adaptasi ke panggung, 'Sureq Galigo' menjadi dasar dari kisah yang menggambarkan petualangan, peperangan, kisah cinta terlarang, upacara pernikahan yang rumit hingga pengkhianatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita di balik layar 'I La Galigo' pun dikisahkan kembali para pelaku kreatif. Danis Sugianto perwakilan pemusik 'I La Galigo' menuturkan riset adalah kerja terpenting dari tim musik yang ada 15 orang.
"Ada 3 kunci besar dalam musik di 'I La Galigo'. Pertama, gimana merevitalisasi repertoar, lagu, ensemble yang tidak banyak digunakan lagi, yang ada tapi sudah tiada. Kedua, reinterpretasi atau mengaransemen. Ketiga, kreasi baru," tutur Danis saat jumpa pers di Galeri Indonesia Kaya, west mall Grand Indonesia, Kamis (13/6/2019).
![]() |
'I La Galigo' adalah karya musik-teater yang diceritakan melalui tarian, gerak tubuh, soundscape, dan penataan gubahan musik. Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, lanjut dia, ada 70 instrumen musik.
"Ada 15 orang, ada yang pegang instrumen tradisonal Sulawesi, Jawa, dan Bali untuk mengiringi pertunjukan ini," lanjut Danis.
Kristiono Soewardjo dan Satriani yang menjadi coach movement pun merasa terpanggil untuk ikut andil dalam 'I La Galigo'. "Saya merasa harus ikut karena ini tuh kekayaan Indonesia. Saya sudah bergabung sejak tahun 2000 dan ikut latihan 8 jam dalam sehari bersama Robert Wilson," kata pria yang akrab disapa Kris.
"Rata-rata penari handal yang ikut 'I La Galigo' dari Papua, Yogyakarta, Bali, dan Jakarta. Kami berlatih keras bersama dan masing-masing berbaur," timpal Satriani.
Pertunjukan berdurasi dua jam yang disutradarai Robert Wilson bakal digelar pada 3,5,6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater.