'Kucumbu Tubuh Indahku', Haru Seni Lintas Gender

'Kucumbu Tubuh Indahku', Haru Seni Lintas Gender

Silvia Galikano - detikHot
Rabu, 01 Mei 2019 09:04 WIB
Foto: (dok.Fourcolours)
Jakarta - Juno (Raditya Evandra) yang tumbuh nyaris tak kenal ibunya, sudah pula ditinggal bapaknya bekerja diluar pulau sejak dia anak-anak. Bapaknya tak tahan berumah dekat sungai tempat ayahnya (kakek Juno) dihanyutkan setelah dibantai sebab pernah mendalang di acara Partai Komunis Indonesia.

Juno kecil kemudian hidup seorang diri. Memasak di pawon dengan tungku kayu bakar yang dia nyalakan sendiri. Sayurnya daun singkong hasil memetik di halaman. Berawal dari keingintahuan akan keseharian penari lengger, Juno mengintip dari balik dinding kayu, para penari lengger yang sedang berlatih.

Nahas, dia kepergok sang guru lengger (Sujiwo Tejo). Alih-alih menghukum, guru memperkenalkan falsafah lengger dan kata lengger yang berasal dari leng (lubang, lambang perempuan) dan jengger
(lambang laki-laki). Juga mengajarkan gerakan-gerakan dasar lengger.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Guru melihat bocah ini membawa bakat alam untuk pandai menari. Posturnya adalah postur penari. Guru pun mempersilakan Juno nyantrik di rumahnya bersama penari-penari lain.

Di antara para penari itu ada satu penari yang dibirahi pemuda sesama cantrik. Pada siang yang gerah, guru keluar rumah, si penari menarik pemuda tersebut ke dalam kamar. "Punya hasrat itu jangan disembunyikan di dalam sarung."

Pemandangan sesudah itu adalah pemandangan mengerikan. Guru tahu perbuatan keduanya. Dia tikam tubuh pemuda itu berkali-kali. Darah muncrat ke mana-mana, termasuk memerciki wajah Juno yang
mengintip dari balik dinding gedhek yang mulai renggang.

Juno lari pulang, bersembunyi di kolong meja. Ketakutan. Bulik (Endah Laras) membawa Juno tinggal bersamanya agar tak berurusan dengan polisi. Tinggal di rumah Bulik, alih-alih belajar, Juno malah menghabiskan banyak waktu bersama ayam. Bulik dua kali menghukum dengan menusukkan jarum ke jari Juno hingga berdarah.

Sejak itu Juno berpindah-pindah tempat tinggal membawa trauma demi trauma, seakan-akan ada kutukan yang tak mau lepas. Keberadaannya membawa sial bagi orang di sekitar. Selalu menimbulkan
darah.

Juno remaja (Muhammad Khan) adalah pemuda yang harus menghadapi peperangan di dalam dirinya. Bertubuh tegap dengan otot-otot liat, tapi merasa nyaman ketika menyentuh dan disentuh pria serta
merasa cantik ketika berdandan dalam kostum perempuan sebagai penari lengger. Sementara, kutukan lama tetap tak mau lepas.

Kehidupan penari lengger lanang banyumasan di sebuah desa di Jawa Tengah ini diangkat sutradara Garin Nugroho dari kehidupan koreografer Rianto Manali, dipadu cerita tentang nasib kelompok
kesenian tradisional saat ini. Rianto muncul juga dengan gaya teatrikal sebagai pencerita yang memberi pengantar antarbabak.

Sebelum tayang di bioskop, Kucumbu Tubuh Indahku sudah mengikuti seleksi Festival Film Internasional di Venesia ke-75 tahun 2018. Film ini juga dinyatakan sebagai pemenang Cultural Diversity Award di Asia Pacific Screen Awards 2018 dan film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018.

Beda dengan Ave Maryam, film festival yang dibabat Lembaga Sensor Film (LSF) sebelum tayang untuk khalayak Indonesia, Kucumbu Tubuh Indahku aman dari sensor. Bisa jadi Garin dan produser Ifa
Isfansyah sudah mengantisipasinya dengan menahan diri dan tidak berlama-lama mengekspos adegan-adegan riskan.

Pemilihan pemain, yakni pemeran Juno dan orang-orang yang bersinggungan dalam kehidupannya, jadi kunci berhasilnya film ini. Kualitas akting yang nyaris tanpa cela membuat tiap karakter tampil kuat dan menancap di benak penonton walau mereka tampil serba sebentar. Ada beragam dialek Jawa di sana jadi tak penting.

Soundtrack pun tepat, yakni Apatis oleh Mondo Gascaro. Lagu ciptaan Ingrid Widjanarko yang pada 1978 dinyanyikan Benny Soebardja itu seakan-akan merangkum jalan hidup Juno. Menonton film ini sulit rasanya untuk tidak prihatin terhadap kesenian Indonesia yang terancam punah akibat ditolak masyarakatnya sendiri.

Juno mengalami masa kecil di tahun 1980-an, ketika itu kemampuannya menari dipuji dan 'mentas' bagi kelompok lengger artinya tampil menari secara terhormat di kota. Dua puluh tahun kemudian, saat era dinamai Reformasi, kelompok lengger diusir dari mana-mana karena dianggap penyakit masyarakat.

Tak ada lagi mentas di kota, tinggallah ngamen di pinggir desa dengan perlengkapan seadanya dan sudah butut. Syukurlah Garin mengangkat cerita tentang pejuang kesenian yang nyaris terlupakan ini. Kesenian melintas gender, atau non-gender, yang sekarang menghadapi tudingan keras sebagai pelaku LGBT.

Lengger lanang, tarian perempuan yang dibawakan penari laki-laki; gemblak, penari laki-laki yang feminin di kesenian reog; atau juga ludruk yang sepenuhnya dimainkan laki-laki, termasuk untuk peran perempuan.

Garin dan Ifa tidak sedang memberi jalan keluar atas mirisnya nasib kesenian kita yang tiba-tiba saja dihadapkan pada nilai-nilai dari negeri lain. Dua sineas itu hanya sedang memberi kacamata baru, kacamata jernih, agar kita dapat melihat dengan cerlang. Semoga ada yang tersadar sudah terlalu lama mengenakan kacamata buram.

(nkn/nkn)

Hide Ads