Awal dekade 1960, Jeihan pindah ke Bandung untuk menempuh pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lima tahun berikutnya, ia tinggal di Cicadas sebuah kawasan timur Bandung yang kala itu terkenal sebagai kota yang padat penduduk dan penuh tindak kriminal ringan.
Masa-masa tinggal di Cicadas diakui Jeihan snagat mengharukan. Pengalaman selama 20 tahun tinggal di Cicadas masih dikenang Jeihan sampai sekarang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dekade tersebut, untuk cari makan saja susah. Indonesia berada dalam situasi sosial politik yang tak tentu.
![]() |
"Saat itu saya yang punya televisi pertama di kampung. Banyak warga yang berkumpul untuk menonton televisi di rumah saya. Saya mulai dari nol semuanya," kata Jeihan bersemangat menceritakan hari-harinya saat tinggal di Cicadas.
Pria yang identik mengenakan peci hitam dan berpakaian serba kasual itu menyambut ramah segala pertanyaan yang diajukan. Meski artikulasi cara berbicaranya kerap tak jelas, namun dengan bersemangat Jeihan menceritakan kondisi hidupnya kala itu serta karya-karyanya.
Kisah hidup Jeihan banyak direkam segala media massa nasional maupun internasional. Ia terkenal sebagai pelukis 'mata hitam'.
![]() |
Sapuan warna hitam yang menutupi mata dalam lukisan menggambarkan keprihatinan sang seniman terhadap masa depan bangsa yang tak menentu. "Saya selalu berpikiran positif, karena pikiran di samping energi adalah partikel. Dia bisa berwujud dan menguap," katanya.
Lukisan-lukisan Jeihan kala itu harganya bisa melambung tinggi mengalahkan Affandi dan maestro-maestro lainnya. Terkadang dia pun herap mengapa lukisannya kerap dicari kolektor internasional.
"Padahal modal saya hanya dahi plus lutut. Modal saya cuma dahi dan lutut. Itu yang menjadi uang dan menghidupi keluarga saya sampai saat ini," pungkasnya.
Perjalanan Jeihan dapat dilihat dalam 30 lukisan yang dipajang di Museum MACAN Jakarta hingga 26 Mei 2019. Simak artikel berikutnya tentang Jeihan Sukmantoro di detikHOT!
(tia/nkn)